Tarik Ulur Kenaikan UMP 2026: Pengusaha Khawatir, Pekerja Makin Menjerit

Tarik Ulur Kenaikan UMP 2026: Pengusaha Khawatir, Pekerja Makin Menjerit

Kenaikan UMP 2026 dikhawatirkan akan menggangu sirkulasi dunia usaha apabila tak memerhatikan aspek strategis perekonomian-istockphoto-

UMP itu harus jadi penggerak ekonomi, tapi jangan sampai bikin pelaku UMKM berat. Sekarang pajak mahal, barang mahal. Jadi menurut saya harus adil. Ikuti saja aturan yang berlaku,” pungkasnya. 

BACA JUGA:UMP Jakarta 2026 Segera Digodok, Pramono Pastikan Pembahasan Pekan Depan

"Jangan buruhnya aja yang minta adil. Buruh digaji Rp100 juta juga kurang terus, Mbak. Gitu. Jadi yang rasional aja sesuai aturannya. Naik ya (ikuti) Presiden sudah tetapkan 6,5 persen ya sudah, ikutin aja itu," tutupnya.

Perlu Kebijakan Terpadu

Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) kembali menjadi sorotan tajam untuk para pengamat ekonomi dan ketenagakerjaan.

Alih-alih otomatis meningkatkan kesejahteraan, kebijakan UMP dinilai berisiko memperluas kelompok rentan miskin jika tidak dibarengi pengendalian harga, peningkatan produktivitas, serta perlindungan sosial yang kuat.

Pengamat Ekonomi Universitas Andalas, Syafruddin Karimi menilai bahwa kenaikan UMP yang hanya sedikit di atas atau bahkan di bawah tekanan biaya hidup justru dapat menciptakan kemiskinan baru secara terselubung.

BACA JUGA:Besaran UMP 2026 Batal Diumumkan, Pemerintah Sedang Susun Regulasi Baru Soal Upah

"Kenaikan UMP memang menambah pendapatan nominal pekerja formal. Namun keluarga yang bergantung pada sektor informal ikut terdampak kenaikan harga tanpa perlindungan upah. Di sini garis antara miskin dan hampir miskin menjadi sangat tipis," terang Syafruddin saat dihubungi disway.id di Jakarta pada Jumat, 12 Desember 2025.

Ia menjelaskan, pelaku usaha yang menghadapi lonjakan biaya tenaga kerja berpotensi merespons dengan mengurangi jam kerja, menahan perekrutan, atau mendorong pekerja kembali ke sektor informal.

Secara statistik UMP terlihat naik, tetapi secara riil sebagian rumah tangga justru terdorong ke jurang kemiskinan.

Syafruddin juga menyoroti kekhawatiran buruh terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok hingga 8–10 persen.

Menurutnya, hal ini mencerminkan ketakutan akan spiral upah dan harga, di mana upah nominal naik tetapi daya beli justru melemah.

"Inflasi resmi bisa rendah, tapi inflasi yang dirasakan rumah tangga ,pangan, energi, sewa dapat jauh lebih tinggi. Buruh merasa gajinya naik di atas kertas, tapi isi keranjang belanja menyusut,"katanya.

Kondisi ini, lanjut Syafruddin, berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah jika kesenjangan antara inflasi resmi dan inflasi yang dirasakan terus melebar.

Pandangan senada disampaikan Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios), Nailul Huda. Ia menyebut kenaikan UMP idealnya berada di kisaran 7,5 hingga 8,5 persen, dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan inflasi 2,5 persen.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads