Internet Rp100 Ribu: Antara Harapan Warkop Menteng, Bisikan Kos Palmerah dan Gamang Sang Raksasa
Kebel-kabel jaringan internet di permukiman penduduk.-Disway-
UJANG adalah potret pejuang masa kini. Umurnya baru 24 tahun. Asalnya dari Garut. Di Menteng, Jakarta Pusat, ia tidak hanya menjual Indomie telur atau kopi susu. Ia menjual "oksigen" baru yang bernama WiFi.
Di Warkopnya yang terletak di Gang Tembok, WiFi adalah magnet. Tanpa WiFi, kursi kayu di warungnya mungkin hanya akan diduduki lalat. Dengan WiFi, mahasiswa IKJ dan karyawan kos-kosan betah berjam-jam di sana. Sambil menyeruput kopi, mereka "menyeruput" data.
Tapi oksigen itu mahal. Ujang harus menyisihkan Rp270 ribu sebulan untuk Telkomsel.
Alamsyah lain lagi. Pemilik kos di Palmerah ini harus merogoh Rp370 ribu. Bagi mereka, internet adalah beban operasional yang nyata.
Maka, ketika pemerintah meniupkan terompet "Internet Rakyat" seharga Rp100 ribu dengan kecepatan 100 Mbps, mata mereka berbinar. Ini seperti janji oase di tengah gurun tagihan.
Namun, di balik binar mata rakyat, ada keheningan yang janggal dari sang raksasa. Telkomsel, sang penguasa pasar, masih bungkam. "Belum ready," kata stafnya.
Mengapa? Apakah si Merah ketakutan pasarnya tergerus? Ataukah ini hanya soal birokrasi? Di sisi lain, para pengamat mewanti-wanti: jangan sampai program ini hanya jadi "bisnis terselubung" yang dibungkus label pelayanan publik.
Inilah babak lanjutan dari pergulatan sinyal murah di negeri ini yakni sebuah drama antara efisiensi rakyat, kegamangan korporasi, dan janji manis kedaulatan digital.
Pejuang Sinyal: Dari Kalipasir Hingga Palmerah
Jika Anda berjalan menyusuri Jalan Kalipasir, Menteng, tepat di Gang Tembok, Anda akan menemukan Warkop milik Rusdi, yang akrab disapa Ujang. Warkop ini adalah ekosistem kecil yang unik. Pelanggannya beragam, tapi kebutuhannya satu: koneksi.
Ujang sadar betul, di era sekarang, orang bisa tahan tidak merokok setelah makan, tapi tidak tahan kalau tidak update status atau sekadar scrolling TikTok sambil menunggu pesanan Indomie matang.
"Mahasiswa IKJ sering nongkrong karena ada WiFi juga," kata Ujang dengan logat Sundanya yang khas.
Bagi Ujang, WiFi bukan sekadar fasilitas tambahan; itu adalah investasi. Meski ia harus membayar tagihan sekitar Rp270 ribu per bulan kepada penyedia layanan pelat merah, ia menganggapnya sebagai "umpan" agar pelanggan datang. Strateginya cerdas: ganti password setiap hari. Hanya mereka yang memesan yang boleh tahu kuncinya.
"Kalau dia sudah pesan, kalau minta password-nya kita kasih," ucapnya sambil tersenyum.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: