Padahal diketahui sebelumnya, korban mengeluh sakit dan susah jalan kepada orang tua dan teman temannya. Namun pascakejadian, ia tetap sekolah sehingga kondisinya terus menurun.
BACA JUGA:Viral Guru SMP di Lamongan Tampar Siswa Berkali-Kali, Diduga Geram Tidak Dipanggil Sebutan 'Bu'
"Dan pemahaman orang tua atau masyarakat selama ini, kliniklah perawatan tertinggi yang dipercaya masyarakat. Akibat tinggal jauh dari akses penanganan tingkat lanjut. Namun apa yang terjadi, sebenarnya sedang ada kelalaian kita semua atas kondisi korban pasca dihukum squat jum 100 kali tersebut."
Lebih lanjut, ia mempertanyakan keterlambatan penanganan ini karena keterbatasan alat, jarak klinik dan RS yang jauh, atau keterbatasan biaya sehingga tidak ada upaya lanjut.
Ia pun mendorong kepolisian melakukan rekonstruksi ulang pihak kepolisian agar kasus ini dapat terungkap jelas.
"Selain oknum guru, adakah kelalaian dari pihak pihak tertentu dalam penanganan. Atau memang karena keterbatasan alat, sehingga tidak ada ruang rawat intensif, hanya memberi obat, dan tidak dirujuk langsung. Padahal kalau dalam riwayatnya dirujuk karena keterbatasan alat."
BACA JUGA:Ayah Kandung Kabur dari Tanggungjawab, Baim Alkatiri Baru Sadar Dieksploitasi Sejak SMP
"Kita tahu, ketika RSS meninggal, masih ada 6 anak yang konon juga mendapatkan situasi yang sama, dihukum karena tidak bisa menghapal pelajaran agama dan tugas," tambahnya.
Jasra mengaku miris atas peristiwa traumatis yang justru terjadi di ruang kelas sehingga penting manajemen sekolah juga diperbaiki.
"Artinya mari kita putus itu semua di kita. Mari hadirkan agama yang tidak menindas, tetapi membebaskan, memudahkan pemeluknya."