
JAKARTA, DISWAY.ID-- Anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Zulfatun Mahmudah memeastikan bahwa perguruan tinggi akan menghadapi blunder besar apabila tetap nekad kelola tambang.
la menyebut terdapat tiga alasan kampus sulit mengelola tambang , di antaranya, kemampuan finansial minim, kapasitas operasional penambangan, hingga tantangan persoalan sosial dan lingkungan.
BACA JUGA:Dosen Geologi UGM Tolak Kampus Kelola Tambang, Lucas Donny Setijadji: Hati-hati dengan RUU Minerba
Pada sektor pertambangan, modal awal yang sangat besar dibutuhkan demi melakukan eksplorasi dan ekstraktif.
Adapun dana yang perlu dipersiapkan kampus mencakup pemetaan lokasi, penentuan kualitas dan deposit batu bara, serta analisis dampak lingkungan yang juga membutuhkan dana besar.
Biaya jaminan reklamasi juga harus disetor dalam waktu 30 hari setelah dokumen rencana reklamasi diserahkan.
Tak berhenti di situ, perusahaan tambang, dalam hal ini kampus, masih harus mengeluarkan biaya lagi untuk konstruksi, di antaranya pembangunan fasilitas pengolahan seperti crusher dan coal processing plant, pembuatan jalur pengangkutan (hauling road) yang bisa sangat mahal jika lokasi tambang jauh dari jalur distribusi.
BACA JUGA:Komisi X DPR RI soal Kampus Kelola Tambang: Agar Biaya Kuliah Gratis
BACA JUGA:Ketua PBNU Ungkap Ormas Diberikan Izin Kelola Tambang Adalah Sogokan Hasanah
“Biaya kontruksi ini termasuk pembangunan perkantoran dan perumahan karyawan karena tambang biasanya berada di daerah terpencil," ungkap Zulfatun dalam keterangannya, dikutip dari laman UGM, 12 Februari 2025.
Sehingga, bisa dibayangkan seberapa besar modal awal perguruan tinggi yang sudah sangat mahal, bahkan sebelum menambang.
Ia mencontohkan PT Kaltim Prima Coal yang menghabiskan 570 juta dolar AS atau Rp10 triliun dalam tahap konstruksi awal.
Belum lagi biaya untuk operasional dan keselamatan tambang serta biaya pajak dan royalti dari penghasilannya.
BACA JUGA:RUU Minerba Atur Perguruan Tinggi Bisa Kelola Tambang, Ini Tanggapan Kemendiktisaintek