Pahlawan Baru di Zaman Ilmu

Jumat 07-11-2025,09:09 WIB
Oleh: Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D

BACA JUGA:KESADARAN GEOPOLITIK

BACA JUGA:Bolehkah Non-Muhrim Bersalaman? Sebuah Tinjauan Hukum Diperbolehkan dengan Catatan

Keadilan bukan hanya tentang pendistribusian kekayaan, tetapi juga pendistribusian kesempatan belajar. Jika pahlawan 1945 berjuang memerdekakan tanah air, maka pahlawan hari ini berjuang memerdekakan pikiran dan kriteria.

Selama ini pengetahuan hanya diukur dengan standar Barat dan mengabaikan kearifan lokal, selama itu pula bangsa ini belum sepenuhnya merdeka secara epistemik.

Dalam Islam, ilmu tidak pernah netral nilainya. Ia selalu berpijak pada al-'adl wa al-ihsan, keadilan dan kebaikan.

Maka kebijakan pendidikan harus berpihak pada yang lemah, memberi penegasan bagi mereka yang selama ini berada di pinggiran sistem.

Seperti pesan KH Hasyim Asy'ari dalam Adab al-'Alim wa al-Muta'allim: “Ilmu tanpa adab adalah bencana; adab tanpa ilmu adalah mendalam.”

BACA JUGA:Perbedaan Sistem Pesantren dan Feodalisme-Fasisme

BACA JUGA:Nabi Muhammad SAW dan Tradisi Saling Memberi dari Ahlus Suffah dan Darul Arqam

Pesantren dan Semangat Kebangsaan

Di tengah krisis global, pesantren membuktikan diri sebagai benteng moral.

Ketika banyak bangsa kehilangan orientasi, santri Indonesia tetap memegang teguh keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal.

Dalam istilah Seyyed Hossein Nasr, pesantren melestarikan ilmu suci, pengetahuan yang menghubungkan manusia dengan Yang Maha Suci, bukan sekadar dengan algoritma.

Program Pesantren untuk Perdamaian yang diinisiasi oleh UIN Jakarta, CSRC, dan PPIM, misalnya, menjadi contoh bagaimana nilai moderasi dan dialog lintas iman ditanamkan sejak dini. Inilah model kepahlawanan baru: bukan menaklukkan musuh, tapi menyembuhkan luka sosial.

BACA JUGA:Xpose Uncensored dan Pesantren dalam Perspektif Komunikasi dan Public Relations

BACA JUGA:Gaza Pasca KTT: Harapan & Tantangan

Kategori :