Ahlus Suffah: Kaum Sufi dan Kemiskinan Ideal
KH Imam Jazuli Lc--
SUFISME Islam selalu menawarkan sudut pandang segar dalam memaknai kehidupan, termasuk kemiskinan. SUFISME menjadi terasa sangat penting ketika Kementerian Keuangan RI mengabarkan ambang batas garis kemiskinan Indonesia meningkat seiring meningkatnya berbagai risiko perekonomian. Per Maret 2022, ambang batas kemiskinan menjadi Rp. 505.469 per kapita per bulan.
Sufisme Islam tidak saja mendorong seseorang hidup sejahtera dengan kondisi batin yang tidak terikat pada duniawi. Tetapi, ia juga menyajikan cara memaknai hidup bagi orang-orang yang masih berada di garis kemiskinan walaupun sudah berupaya dengan segala cara. Sebab, laporan Badan Pusat Statistik tentang 26,16 juta orang miskin per Maret 2022 adalah realitas yang tidak bisa diabaikan.
BACA JUGA:Sufisme, Ajaran Murni Islam Bukan Bid’ah
Khusus bagi mereka yang sudah berikhtiar sepenuh tenaga dan segenap jiwa namun masih ditakdirkan berada di garis kemiskinan, Sufisme memiliki caranya tersendiri untuk memaknainya. Salah satunya melalui keteladanan para Sahabat Nabi yang disebut sebagai Ahlus Suffah. Mereka orang-orang fakir miskin yang tidak bersedih hati dengan kemiskinannya, dan tidak bahagia dengan kekayaan yang tidak berguna bagi peningkatan iman takwa mereka.
Ada banyak catatan historis tentang Ahlus Suffah ini, misalnya diabadikan oleh Abu Abdurrahman as-Sulami (w. 412 H.) dalam kitabnya Tarikh Ahl al-Shuffah, oleh Abu Nu'aim al-Ashfihani (w. 430 H.) dalam Hilya al-Awliya', dan Taqiyddin as-Subuki (w. 756 H.) dalam Al-Tuhfah fi al-Kalam 'ala Ahl al-Shuffah. Kita tidak akan kehilangan catatan tentang suri tauladan kehidupan ini.
Abu Nu'aim menggambarkan secara umum karakter Ahlus Suffah ini sebagai berikut: mereka adalah orang-orang yang oleh Allah dijadikan sebagai panutan orang-orang miskin, suri tauladan bagi orang-orang arif bijaksana. Mereka tidak memiliki keluarga dan harta benda. Kekayaan dan perdagangan tidak memalingkan mereka dari berdzikir pada Allah. Tidak bersedih atas kurangnya harta benda duniawi, dan tidak bahagia kecuali mendapat apa yang menguatkan ibadah (Abu Nu'aim, Hilyah al-Awliya', 1/338).
Ahlus Suffah menghadapi kemiskinan dengan tulus, ikhlas, dan bahagia. Kekayaan duniawi hanya akan mampu membuat hati mereka bahagia bila bermanfaat bagi kepentingan akhirat, menguatkan tubuh dan jiwa untuk beribadah. Sebaliknya, mereka bersedih bila mendapatkan harta benda yang memalingkan mereka dari berdzikir kepada Allah. Kekayaan yang dicari adalah kekayaan yang bernilai ukhrawi.
Ahlus Suffah menghabiskan hari-hari mereka dengan mendaras Alquran, mengkaji dan membacanya secara tartil. Mereka terus memanjatkan doa demi doa kepada Tuhan, berdzikir tiada henti, dan waktu mereka habis hanya untuk beribadah. Dengan meneladani kezuhudan dan kemiskian para Ahlus Suffah ini, urgensi sufisme Islam menjadi tambah nyata, terutama bagi 26 juta lebih rakyat miskin Indonesia.
Para Ahlus Suffah ini antara lain: Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi, Bilal bin Rabah, Ammar bin Yasir, Shuhaib ar-Rumi, Khabab bin al-Arat. Ahlus Suffah ini pula yang menjadi latar belakang turunnya ayat 52-54 surat al-An'am, yang mengisahkan orang-orang yang dicintai Allah dan mendapatkan rahmat-Nya (Imam al-Ghazali, Ihya' Ulumiddin, 4/34; Ibnu Taymiah, Majmu'ah al-Rasail wa al-Masail, 1/39).
Dengan diabadikannya Ahlus Suffah dalam al-Qur’an, umat muslim yang miskin mendapatkan kedudukan yang terhomat dalam Islam. Dengan demikian, kemiskinan bisa menjadi jalan paling lempang mengantarkan manusia pada kasih dan rahmat Allah swt. Dengan catatan, kemiskinan tidak membuat sedih hati namun semakin meningkatkan ketakwaaan dan keimanan pada Allah swt.
Mengingat derajat tinggi Ahlus Suffah ini, tidak heran Ahlul Bait pun bergaul dengan mereka sepanjang waktu. Hasan bin Ali dan Abdullah bin Ja'far adalah beberapa tokoh Alul Bait yang begitu sering bergaul dengan Ahlus Suffah dan menghormati kedudukan mereka. Para Ahlul Bait berhadap didoakan oleh Ahlus Suffah dan suka meneladani perilaku Ahlus Suffah (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya, 2/34).
Keteladanan dari para sahabat Nabi dan Ahlul Bait Nabi di atas pantas menjadi pegangan umat muslim hari ini, terutama dalam memandang kedudukan orang miskin yang bertakwa. Orang miskin tidak boleh dipandang sebelah mata dan ditempatkan sebagai manusia kelas dua. Doa orang-orang miskin yang bertakwa sangat mustajab, dan karenanya Ahlul Bait sering meminta doa dari mereka.
Meminjam istilah Kiri Islam dari Hassan Hanafi dan Asghar Ali Engineer, Islam bertujuan membebaskan manusia dari kemiskinan. Di satu sisi, itu memang benar dengan menempatkan orang miskin sebagai objek. Tetapi, di sisi lain, orang miskin beriman juga sebagai subjek aktif (tidak melulu objek) yang kita butuhkan doa-doa mereka dan kita butuhkan sebagai sandaran moral.
Sebagai sandaran moral, otomatis orang miskin beriman adalah pemandu jalan hidup. Sebab, kemiskinan tidak melulu keterpaksaan melainkan kadang juga sebuah pilihan, sebagaimana dicontohkan Ahlus Suffah. Mereka memilih hidup miskin karena khawatir kekayaan memalingkan wajah mereka dari Allah. Jiwa-jiwa suci semacam ini akan semakin ideal bila dipegang teguh oleh elite negara, sehingga jauh dari perilaku koruptif yang memiskinkan rakyat secara struktural. (*)
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: