Pengakuan Kolonel Abdul Latief Tentang G30S, Dikhianati Soeharto dan Jebloskan ke Penjara

Pengakuan Kolonel Abdul Latief Tentang G30S, Dikhianati Soeharto dan Jebloskan ke Penjara

Kolonel Abdul Latief -ilustrasi-disway.id

Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.

"Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.

BACA JUGA:Ini Lirik dan Sejarah Singkat Lagu Genjer-genjer, Identik dengan G30S/PKI di Masa Lalu

Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" di rumah Soeharto.

Latief juga megaku, bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Soeharto satu hari sebelumnya di kediamannya di Jalan Haji Agus Salim.

Pada pertemuan di rumah Soeharto itu Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.

Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.

"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.

Kolonel Latief yang ketika itu menjabat sebagai Komandan Brigade Infanteri I Kodam V Jaya datang melapor kepada Soeharto,

Anehnya, Soeharto selaku Panglima Kostrad tidak menggagalkan peristiwa yang berbuntut pada penggulingan Soekarno selaku presiden setelah mendapat laporannya.

"Siapa sebenarnya yang melakukan coup d'etat pada 1 Oktober 1965: G30S ataukah Jenderal Soeharto", ungkap Latief di pengantar bukunya Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G 30 S.

Soeharto menjadi pahlawan setelah ramainya peristiwa G30S. PKI pun dianggap sebagai dalang. Sementara itu Soekarno tidak melakukan apa-apa.

Masyarakat sipil, mahasiswa, dibantu tentara, menggelar berbagai demonstrasi besar-besaran menuntut PKI dibubarkan dan ekonomi diperbaiki.

Buntut dari peristiwa G30S yaitu pada 11 Maret 1966. Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberi kuasa untuk mengatasi keadaan.

Permintaan itu kemudian disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Peristiwa itu menjadi jalan Soeharto menjadi presiden selanjutnya menggantikan Soekarno.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: