Durian Tarmidji
Dahlan Iskan ke Kedai Kopitiam Asiang di Pontianak lima tahun lalu. Ia kembali ke sana untuk bertemu Gubernur Kalimantan Barat, pendiri Pontianak Post, dan tentu ngopi lagi di Asiang.--
BEGITU makan durian kali ini saya tertegun. Setelah membuka durian keempat, saya tersadar. Saya merasa bersalah. Selama ini saya terlalu memuja musangking.
Maka sejak pekan lalu itu, sejak makan durian Pontianak lagi, kesan saya pada durian musangking berubah.
Musangking memang enak sekali –di samping mahal sekali. Tapi durian Pontianak ini harusnya mengalahkan musangking. Seenak-enak musangking ya sudah, memang enak. Tapi ketika membuka musangking kedua, enaknya sama. Buka lagi yang ketiga enaknya masih sama. Pun yang keempat dan seterusnya.
Saya akhirnya tahu: di situ kelemahan musangking. Enaknya monoton.
Bandingkan dengan durian Pontianak ini. Khususnya yang sudah diseleksi oleh pedagang ahli durian ini. Di Jalan Gajah Mada ini. Buka durian pertama enak sekali. Buka yang kedua sangat enak. Buka yang ketiga enak banget. Yang keempat hen enak. Yang kelima enak jiddan.
Enak semua. Tapi enaknya beda. Tiap buka yang baru rasanya beda. Ini tidak akan terjadi pada musangking. Enak, tapi itu-itu saja.
Berarti saya harus meralat ide lama: baiknya rasa durian di Indonesia distandarkan. Seperti di Malaysia. Jangan. Jangan diseragamkan. Musangking memang enak tapi enak yang tanpa variasi.
Berarti, yang diperlukan di Indonesia adalah seleksi. Bukan penyeragaman. Biarlah tetap bervariasi. Asal enak semua.
Yang membuat pembeli durian di Indonesia kecewa adalah: tidak ada kepastian rasa. Membeli durian seperti berjudi. Bisa menang, bisa kalah melulu.
Kadang, pembeli dapat durian hambar.
Lain kali dapat yang jalak. Yakni yang sampai biji cokelatnya kelihatan: saking tipisnya dagingnya.
Pontianak di akhir 2022 telah mengubah pikiran saya.
Tentu saya juga mampir ke warung kopi Asiang. Masih juga ramai. Padat. Masih banyak yang berebut berfoto bersama si Asiang yang selalu tidak pakai baju itu.
Saya pun disodori foto lama saya ngopi di situ. Agar ditandatangani. Akan dipajang. Saya pun bertanya pada Asiang: "Apakah sudah tahu ada anak muda Pontianak menjadi juara dunia?" tanya saya.
"Juara apa?" tanya Asiang.
"Juara bikin kopi. Juara lima. Bulan lalu. Di kejuaraan dunia di Melbourne," jawab saya.
"Hebat ya Pontianak," komentarnya.
Dari kopi Asiang saya ke es krim. Di depan SMA Santo Paulus itu. Saya ajak senior saya ke situ. Saya dorong kursi rodanya. Ia adalah Pak Tabrani Hadi. Ia pendiri Pontianak Post. Umurnya sudah 81 tahun. Beliau harus di kursi roda karena stroke 8 tahun lalu.
Saya jemput ia ke rumahnya. Bicaranya sudah mulai lancar. Di kedai es krim yang berdiri sejak 1950 itu kami bertukar rindu. Juga mengenang masa lalu. Yakni masa ketika Pak Tabrani menemui saya: menyerahkan Pontianak Post (masih bernama Akcaya) kepada saya.
Itulah kedatangan saya pertama ke Pontianak. Tahunnya saya sudah lupa. Setelah dua hari di sana saya mengambil kesimpulan: Harian Akcaya ini tidak perlu saya.
Akcaya sudah punya kantor. Sudah punya mesin cetak. Tidak punya utang. Bisa beli bahan-bahan baku sendiri. Masih bisa terbit rutin seminggu sekali.
"Bapak tidak perlu investor. Jalan sendiri saja," ujar saya.
"Saya pengin mingguan ini jadi harian. Saya pengin maju. Saya merasa cocok dengan Pak Dahlan," ujar Pak Tabrani.
Waktu Pak Tabrani memang terbatas. Ia pejabat tinggi di Pemda Kalbar: Asisten sekwilda. Potensial sekali naik jabatan. Ia mencintai dunia publikasi dan fotografi. Sejak masih muda. Sosoknya mungil, kulitnya bening, bicaranya lirih, solah bawanya halus. Ia tidak pernah menyela orang yang lagi bicara.
Pak Tabrani kini hidup bersama salah satu anaknya, sejak istrinya meninggal 5 tahun lalu.
Ia pun tahu: kini saya sudah bukan siapa-siapa lagi. Pun di perusahaan yang membawahkan Pontianak Post itu. Tapi persahabatan kami melebihi kekuasaan duniawi.
Saya senang bicara Pak Tab kian lancar. Jauh lebih baik dari pertemuan-pertemuan sebelum ini. Biar di kursi roda tapi masih bisa pindah sendiri dari kursi roda ke mobil. Memang dengan susah payah, tapi bisa. Saya tidak membantunya naik mobil. Ia harus bisa sendiri. Dan ia bangga dengan kemampuannya itu.
"Apakah koran masih ada harapan?" tanyanya.
Saya sedih mendengar pertanyaan itu. Terutama karena saya tidak bisa membantunya lagi seperti dulu. Saya tidak bisa lagi diskusi tentang perusahaan dengan beliau. Juga dengan teman-teman lama di sana.
Saya menyesal tidak ajak beliau ke kantor gubernur. Padahal pagi itu saya bertemu Gubernur Kalbar H. Sutarmidji. Tentu beliau senang kalau bisa ke kantor lamanya. Pak gubernur pun tidak akan keberatan.
Gubernur Sutamadji ini orang kampus. Ternyata ada orang kampus yang bisa jadi kepala daerah berprestasi. Sutarmidji begitu lama jadi dosen ilmu hukum di Universitas Tanjungpura. Lalu menjadi calon wali kota Pontianak. Terpilih. Sampai dua kali. Lihatlah perkembangan kota itu 10 tahun terakhir. Berubah total. Terutama di sepanjang tepian sungai Kapuas. Juga di sepanjang Ahmad Yani yang panjangnya 18 Km.
Memang baru di pusat kota yang pinggiran sungainya dibenahi. Tapi perubahan itu bisa merangsang wali kota berikutnya untuk menambahnya.
Pun Jalan A Yani. Trotoarnya begitu lebar, untuk ukuran Pontianak yang dulu tidak punya trotoar. Penghijauannya juga berhasil. Tamannya indah.
Kini Sutamadji menjabat gubernur. Tentu ia tidak akan rela kalau hasil pembenahan kotanya itu tidak dilanjutkan. Ia sendiri menambah kecantikan jalan terpanjang itu dengan membenahi pagar kantor gubernur.
Pertama, agar pagar di situ sinkron dengan taman sepanjang jalan utama itu. Kedua, agar pagar tidak dijadikan alat politik.
"Warna pagar itu saya buat warna kayu," ujar Sutamadji. "Dengan demikian tidak akan ada lagi yang berani mengubah menjadi warna lain," tambahnya.
Kini, warna pagar dan jembatan, memang bisa silih berganti tergantung dari partai apa kepala daerahnya.
Pagar kantor gubernur itu juga sudah memuaskan semua golongan. Dibuat tiga motif: ada motif Melayu, Dayak, dan Tionghoa –tiga suku terbesar di Kalbar.
Demikian juga pagar rumah dinas gubernur yang luas dan besar itu. Pagarnya juga sudah dibuat tiga motif. Pun warnanya sudah dibuat warna kayu alami. Siapa pun gubernurnya kelak, masak sih, mau mengubah warnanya.
Halaman rumah gubernur ini juga ditinggikan. Agar tamannya lebih menonjol. Juga agar tidak tergenang di masa air sungai Kapuas pasang-besar. "Saya tidak tinggal di rumah dinas itu," ujar Sutamadji. Ia tinggal di rumahnya sendiri.
Sutamadji memang orang asli Pontianak. SMA-nya di Santo Paulus depan es krim itu. Orang tuanya miskin. Ia harus ikut cari rezeki di pagi hari. SMA Santo Paulus masuk sore.
Setelah tahun pertama dinilai ''Pontianak Centris'' Sutamadji mulai melangkah ke daerah-daerah. Ia fokus mengurangi jumlah desa tertinggal.
"Tahun ini desa sangat tertinggal sudah teratasi semua," ujarnya.
Ia mengajak saya ke war-room. Lokasinya di depan ruang tamu. Layar digital selebar dinding gedung berkedip-kedip. Semua data pembangunan berseliweran. Real time. Desa tertinggal pun sudah turun drastis. Dari sekitar 500 menjadi tinggal 80-an.
Tentu saya juga diskusi mengenai pelabuhan baru, jalan menuju ke sana dan soal bauksit (Disway 5 Desember 2022).
Gubernur bisa berperan penting. Termasuk dalam memelihara durian Pontianak. (Dahlan Iskan)
Komentar Pilihan Dahlan Iskan di Tulisan Edisi 10 Desember 2022: Gunung Kawi
rid kc
Saya sejak kecil sudah mendengar dan diceritai oleh bapak saya terkait gunung kawi. Tapi ceritanya hanya terkait itu yaitu ingin jadi kaya. Saya yakin di gunung kawi tidak hanya cerita itu tapi pasti ada lainnya. Ternyata benar di gunung kawi ada makam ulama yang merupakan pasukan Pangeran Diponegoro. Ulama inilah sejatinya yang diziarahi bukan karena ingin kaya atau apa. Suatu saat kepingin ziarah ke Gunung Kawi untuk menziarahi ulama tersebut.
Leong putu
Londo oh Londo... Walau kamu ndak seMalang gunung Kawi, kenapa nasibmu begitu malang ? Mungkinkah karena kamu kuwalat ke Indonesia sehingga kamu senasib dalam urusan Bola ? Lebaran masih jauh tapi Londo sudah mudik.
Macca Madinah
Foto sama Yana kok gak ada Bah? Eniwei, saya pernah ke sana, kebetulan dekat dengan peternakan sapi besar yg saya kunjungi juga. Lihat masjid, lihat klentengnya, ya sekedar lihat2 saja, waktu itu suasananya sepi, padahal pra pandemi. Kalau sudah tahu ada cerita tentang sawo kecik, mestinya waktu itu kunjungan saya bisa lebih berwarna.
Amat Kasela
Tidak harus panjang, yang penting bisa bikin menggelinjang. Tak harus besar, yang penting bikin nyaman. Itu!
Leong putu
Baik Pak Jo, kalau ketemu mbah Kliwon akan saya sampaikan. Namun saya ke gunung kawi bukan agar saya cepat kaya. Hanya agar saya bisa minum kopi yang bukan kopi sachetan. Di rumah, saya kadung sudah terlanjur sedia kopi sachetan sepuluh renteng (@ 10 sachet). Karna ingin ngopi yang sehat, saya akhirnya ngopi di warkop saja. Kopi espresso. Laaahdalaaah ancen sehat tenan, penjualnya cantik semlohe, ramah dan manja. Baru dua hari ngopi di sana, nasib lacur menimpa. Istri lewat untuk beli sayur. Tanpa banyak kata, hanya tatapan saja, saya langsung pulang. Gak berani ngopi di situ lagi. Kalau di gunung kawi sering ada wayang dan tahlilan pasti ada kopi tubruknya. Yang graaatis... wkwkwk.. Walaupun rumah saya jauh dari sana (dekat Surabaya) gpp lah. Naik mobil Inova gak masalah. Yang penting tidak kere lagi. #riya' tipis tipis.
Mirza Mirwan
..... itu berada mempercayakan kepada Majid untuk menjadi penjaga makam itu. Majid dibuatkan rumah di dekat makam dan juga lahan untuk bertani. Kian hari kian banyak yang datang ke makam itu. Dan memasukkan uang ke "kotak amal". Dari uang dari kotak itu Majid bisa memperbaiki rumahnya, membeli sawah dan sapi. Ia kemudian juga punya isteri, Rahimah. Karena tak punya anak, Majid tambah isteri lagi, Aminah. Juga tak punya anak. Aduuuh, meskipun hanya garis-besarnya saja, capek untuk menuliskannya di kolom dengan batasan karakter ini. Tapi pesan dari novel Lal Shalu (Tree Withouth Roots) jelas: kemiskinan bisa membuat orang yang semula taat beribadah menjadi penjual ayat demi kekayaan. Ia sadar itu salah. Tetapi kesadarannya tidak lantas membuatnya kembali ke jalan yang benar.
Jokosp Sp
Saya tadi terus baca ketika kemudian ..... juga punya istri, Rahimah. Karena tidak punya anak, Majid tambah isteri lagi, Aminah. Juga tidak punya anak. Stop ceritanya. Coba dilanjudkan, ketika dengan istri keduanyapun tidak punya anak, maka Majid kawin lagi dengan Syoimah. Juga tidak punya anak. Masih belum putus asa Majid kawin lagi dengan Saripah, tetap masih belum bisa punya anak. Majid akhirnya kembali ke istri tertua, karena umur sudah 76 tahun, dan raga sudah tidak bisa berdusta. TITIK.
Mirza Mirwan
Membaca CHD hari ini tiba-tiba saya teringat novel Syed Waliullah, novelis Bangladesh yang kemudian beristrikan Anne-Marie Thibaud dan tinggal di Paris, lalu meninggal di sana tahun 1971 dalam usia 49. Judulnya "Lal Shalu" dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi "Tree Without Roots". Novel itu juga tentang makam di Mahabbatpur -- dalam Lal Shalu disebut Mahabbatnagar -- yang kemudian ramai dikunjungi peziarah. Alkisah, di Bukit Garo ada seorang lelaki bernama Majid. Miskin. Seperti juga rerata warga Bukit Garo. Tetapi warga Bukit Garo sangat taat beribadah dalam kemiskinan mereka. Akan halnya Majid, ia capek hidup miskin. Suatu malam ia mimpi ada sebuah makam tua tak terawat di luar Desa Mahabbatpur, desa di bawah bukit yang terkenal subur makmur. Dalam mimpi ia seperti disuruh ke desa itu. Berbekal sepotong kurta (pakaian tradisional), 2 potong lungi (sarung), 2 potong handuk kecil dan tipis, serta sebuah al-Quran kecil, Majid datang ke Mahabbatpur, yang penduduknya tak peduli dengan ibadah. Dengan bahasa yang meyakinkan ia bertanya kepada penduduk, mengapa mereka tidak taat beribadah sebagaimana ulama cikal-bakal Mahabbatpur, bahkan juga menelantarkan makamnya? Memangnya tidak takut bila kena bala gegara kelalaian mereka itu? Serta-merta penduduk ingat bahwa ada makam tua tak terawat di luar desa. "Itulah makam pendiri desa kalian," kata Majid. Singkat cerita, penduduk segera membangun makam itu. Khalik, pemilik tanah di mana makam ....
Jokosp Sp
Setelah ke Gunung Kawi berdo'a dengan sangat khusuk, akhirnya fokus usahanya jadi lebih besar, lebih kerja keras, kecerdasannya langsung mengalir, ide - idenya muncul tiba - tiba. Hasil akhir usahanya jadi membesar. Pemilihan berdo'a ( bersemedi ) dan meminta ke Sang Khalik di Gunung Kawi tidak ada yang salah, karena pada akhirnya telah menemukan tempat yag khususk dan diyakini.
EVMF
Mazmur 18:3 Ya TUHAN, bukit batuku, kubu pertahananku dan penyelamatku, Allahku, gunung batuku, tempat aku berlindung, perisaiku, tanduk keselamatanku, kota bentengku!
Arala Ziko
waktu angka ciamsi keluar 29, untuk melanjutkan membaca lagi sy sudah was was, wah kalau sampai keluar angka 69, bakalan nanti ada yg komentar kok saru banget, tulisan bandel. wkwk
Muin TV
Kalau saya, pas ziarah di Gunung Kawi dapat angka 19, turun dari Gunung Kawi, langsung pasang togel. Siapa tahu keluar angka 19. Dan jadi kaya raya. wkwkwkwk.......
Fiona Handoko
bpk dahlan. saya sempat berpikir, apa bpk ke gunung kawi utk tanya masa depan jurnalistik di wakanda?
Dodik Wiratmojo
Inget gunung kawi inget cerita2 pesugihan, bisa kaya raya tapi anaknya jd idiot plonga plongo dititipin di rsj, tanpa sepengetahuan anggota keluarga dijadiin tumbal , ada candi dr manusia jk ada yg bs melihat, itu hanya konon sih.. Yuukk ngopi...
Juve Zhang
Kisah nyata kerabat yg datang ke G.Kawi .sukses cuma "efek sampingnya" bukan kaleng kaleng, " minta" imbalannya wow.sudah terlanjur dan sadar setelah kejadian. Tidak rekomendasi buat yg gak kuat mental atas "permintaan" yang di kabulkan permohonan nya. Lebih baik main togel atau main di bursa saham saja. Gak ada yg " minta" . Di bursa semua apes apesnya beli saham goto paling depresi ber bulan bulan.wkwkwkw
Pryadi Satriana
Dahlan Iskan punya hak menulis apa saja di blog beliau. Saya juga punya hak untuk mengingatkan pembaca bahwa keyakinan yg mendasari praktik ciamsi adalah "meminta petunjuk ilahi", dan itu sudah menduakan Tuhan, karena meminta petunjuk kepada alat2 peramalan yg dibuat oleh manusia ciptaan Tuhan. Dahlan sudah bilang ia ndhak percaya, tapi toh melakukan juga dan mengaku bahwa isi ramalannya "aneh, sesuai prinsip hidup saya." Di Perjanjian Lama, orang yg membawa kepada kemusyrikan harus dibunuh, tapi di Perjanjian Baru yg mengajarkan Hukum Kasih orang semacam itu dinasehati & didoakan agar sadar & bertobat. Hak saya - lebih tepatnya 'kewajiban' saya - untuk menyampaikan ini, hak Anda untuk setuju atau pun tidak. Terima kasih. Salam. Rahayu.
Johan
Di komplek kami pernah ada seorang bapak yang "usil". Melihat orang masih berkegiatan di jam sembahyang, akan ditegurnya. Melihat ada ibu-ibu berbaju seksi atau tidak berhijab, akan ditegurnya. Suatu hari ada seorang ibu yang tidak terima dapat teguran. Terus mengadu ke suaminya. Sang suami mendatangi bapak itu. Si bapak berkilah bahwa sudah kewajiban untuk saling mengingatkan sebagai sesama umat. Sang suami tidak mau tahu. Bapak itu digamparnya. Saya yang kebetulan sedang menyiram tanaman di teras, melihat kejadian itu. Sebenarnya mau saya biarkan saja. Tapi karena timbul rasa tanggung jawab supaya situasi komplek yang kondusif, terpaksa saya harus turun tangan melerainya. Tidak terlalu lama setelah kejadian itu, si bapak terkena serangan jantung. Kembali ke Tuhannya yang memberi dia banyak kewajiban. Ucapan dukacita mengalir, yang mungkin dibaliknya terucap pujian syukur. Karena sosok yang "meresahkan" itu sudah pergi. Saya tidak ingin mengatakan sikap siapa yang benar atau salah. Tapi keinginan rata-rata orang, tidak mau urusan pribadinya dicampuri oleh orang lain, termasuk soal iman. Playing god itu tidak baik untuk kehidupan normal di masyarakat.
ALI FAUZI
Semua memang ada caranya. Ibaratnya, kita menarik benang yang terkubur dalam gunungan tepung tanpa meruntuhkan gunungan tepung itu. Itu sebabnya, Islam menasihati: Berdakwalah dengan cerdas dan bijaksana.
Pryadi Satriana
Saya rasa Pak Johan sudah tahu, bahwa manusia punya tanggung jawab "memayu hayuning bawono" atau pun "menyebarluaskan kebajikan" atau pun - dalam terminologi bahasa agama samawi - "menegakkan Tauhid/ Keesaan Allah." Saya berkomentar karena ada kolom komentar dan ada yg perlu saya komentari, dan jg sudah dijelaskan bahwa Anda (siapa pun Anda) boleh setuju atau pun tidak. Saya melakukan yang perlu dilakukan dalam komentar saya dg 'cara & gaya bahasa saya', adapun tanggapannya terserah Anda masing-masing. Gitu aja. Salam. Rahayu.
Pryadi Satriana
Keyakinan yang mendasari praktik ciamsi adalah "meminta petunjuk ilahi". Semua yang terkait ciamsi adalah rekayasa manusia. "Bermain-main dengan setan yang menyaru!" Neymar menangis sedih karena Brasil tersingkir dari piala dunia 2022. Saya sedih - walaupun saat ini ndhak menangis - karena Dahlan Iskan "membawa jamaah Disway dalam kemusyrikan." Dahlan Iskan iku "ndendheng pol" - wuangel dikandani. Mugo2 ndhang sadar sebelum ajal menjemput. Aamiin. Salam. Rahayu.
yea aina
Buncis enak kalau dipake lalapan/ Memang pening dikala puan pede diusung/ Bisnis tidak perlu segede gaban/ Yang penting ada cuan segede gunung/ @mantuncuan
Leong putu
Iwak teri sayur sawi/ Ada buncis juga kemiri / Cerita ngeri ngunung kawi / Penuh mistis juga misteri / .... 365_ mantun gunung.
Johan
"Jalan kesuksesan ada di tangan anda sendiri, bukan di gunung Kawi." Ini komentar bapak angkat saya dulu, ketika saya mengutarakan niat mau ke gunung Kawi untuk "memohon" kesuksesan, tentu kesuksesan dalam maksud menjadi lebih kaya dan makmur. Ini mengingatkan saya pada sebuah bacaan, sesepuh bangsa Tionghoa zaman dulu memiliki semboyan: Ming zai wo bu zai tian (命在我不在天). Artinya kurang lebih: Takdir ada di tangan kita sendiri, bukan di tangan mahluk adi kodrati. Semboyan ini tidak bisa disimpulkan bahwa sesepuh itu anti atau tidak percaya takdir Tuhan. Karena dari konsep ketuhanan saja mereka sudah berbeda dengan konsep dari agama samawi. Pandangan hidup seperti itu mengartikan seseorang harus mandiri dalam menghadapi gelombang dan problematika hidup, beserta tujuan apa yang ingin dicapai, yang sesuai kemampuan diri. Tingkat kemampuan menyesuaikan diri dengan segala perubahan yang akan menjadi pembeda tingkat kualitas seseorang. Ini sebagai kritik terhadap orang yang "memanipulasi dan bersekongkol" dengan "mahluk adi kodrati" demi menghapus karma buruk, menyelewengkan hakikat untuk kepentingan pribadi. Ini yang banyak terjadi, dari zaman dulu sampai zaman kini. Hidup itu sederhana, yang tidak sederhana itu adalah keinginan.
Johan
Aktivitas rohani tidak harus melibatkan rasionalitas. Apakah kegiatan berdoa dan sembahyang itu rasional? Ini bisa diperdebatkan. Ada yang mengaku bisa merasakan kehadiran Tuhan, ada yang merasa tidak. Ini tidak harus dipertentangkan. Karena itu paling baik adalah saling menghargai keyakinan masing-masing. Bagi umat kelenteng, ciamsi dirasakan berguna dan bermanfaat. Ciamsi sebagai jembatan komunikasi antara umat yang membutuhkan dengan Tuhannya. Bagi yang tidak percaya, ciamsi itu tidak berguna, atau bahkan bersekutu dengan setan. Bebas saja. Tapi alangkah eloknya jika semua umat beragama bisa saling menerima perbedaan, tanpa harus ikut campur ke dalam urusan keyakinan masing-masing.
Pryadi Satriana
Darimana Pak Johan tahu itu aktifitas 'rohani' (yg melibatkan 'roh') dan bukannya aktifitas 'pikiran' yg berusaha 'mencari-cari jawaban atas permasalahan hidup' dg cara2 yg 'direkayasa oleh pikiran itu sendiri'? Saya mengikuti 'cara berpikir' dan 'terminologi' Anda: konsultasi! Anda paham arti 'konsultasi'? Saya anggap "konsultasi" ke ciamsi itu absurd. Kalau menurut Anda "it's okay", "just go ahead." Salam. Rahayu.
Johan
Mengenai praktik ciamsi, ini pada dasarnya hanya sebagai "sarana konsultasi", bukan sebagai arana meramal masa depan. Orang yang sudah mendapatkan "konsultasi" diharapkan akan lebih mempersiapkan diri untuk maksud tujuan yang ingin dicapainya. Masih ingat dulu, saya pernah menemani seorang anak muda yang lagi galau. Dia menyukai wanita teman kant
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber:
Komentar: 86
Silahkan login untuk berkomentar
Masuk dengan Google