Ukhuwah Wathaniyah dalam Koalisi Perubahan, Persatuan Aswaja, dan Wahabi
KH Imam Jazuli Lc--
Para akademisi sangat butuh pada kehadiran fenomena baru, yang bisa dipakai untuk menguji hipotesa Hasan Hanafi bahwa Ukhuwan Wathaniyah maupun Wahdah Wathaniyah hanya akan lahir dari proses percakapan (hiwar) di antara pemikiran politik kebangsaan yang berbeda-beda (tiyarat al-fikriah al-mukhtalifah).Hasan Hanafi telah mewanti-wanti kita agar tidak terjebak pada kasus dunia Arab di Timur Tengah, yang diwarnai oleh konflik karena penyeragaman pemikiran dan raibnya percakapan pemikiran yang berbeda-beda (hlm. 448).
Dengan adanya koalisi PKS dan PKB, atau tepatnya koalisi ideologi Aswaja dan Wahabi, maka kegagalan dialog politik di Timur Tengah bisa diantisipasi sejak awal, agar tidak terjadi di Negara Republik Indonesia tercinta ini. Di masa depan, jika koalisi PKS dan PKB ini berhasil mewujudkan persatuan kebangsaan (wahdah wathaniyah), maka sudah tiba waktunya untuk ukhuwah ormas-ormas keagamaan lainnya.
Dialektika (al-Hiwar), dengan demikian, adalah kunci penting dalam proses mencapai persaudaraan dan persatuan kebangsaan. Karenanya, dialektika harus dilakukan dengan kepala dingin, hati yang tenang, sehingga dialektika tidak berubah menjadi ajang perdebatan dan pintu masuk perpecahan yang lebih mendalam. Dialektika pemikiran-pemikiran politik berbeda, apabila gagal dijalankan, maka berdampak pada kehidupan sosial, politik, dan kebudayaan di tingkat akar rumput.
Untuk menjamin dialektika pemikiran politik yang beragama (Aswaja dan Wahabisme-Salafisme) berjalan dengan damai dan kepala dingin, Hasan Hanafi memberikan batasan tegas, yaitu: "tatahaqqaqu wahdah wathaniyah idza ma a'thaina insan huquqahu awwalan tsumma thalabnahu bi wajibatihi tsaniyan,"(hlm. 136). Persatuan dan kesatuan bangsa terwujud bila hak-hak manusia dijamin lebih dulu, baru kemudian kewajiban-kewajibannya dituntut. Hak manusia harus diutamakan di atas kewajiban.
Ideologi Aswaja punya hak untuk eksis di tengah kehidupan umat, begitu pula dengan ideologi Wahabisme-Salafisme. Hanya dengan menjamin hak-hak yang beragam itu, maka kehidupan bangsa Indonesia akan selamanya terus majemuk, plural, dan harmonis. Setiap individu dan kelompok memiliki hak yang sama untuk eksis, berekspresi, dan didengarkan. Karenanya, kaolisi PKB-PKS (Aswaja-Wahabi) diharapkan berhasil, baik dalam pemenangan Pemilu maupun dialektika ideologi kebangsaan. Sudah tiba saatnya untuk tetap bersatu dengan keragaman masing-masing. (*)
*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: