Menjahit 'Luka' dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU

Menjahit 'Luka' dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU

Kiai Imam Jazuli (kaos oblong putih) bersama Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.--

Ibarat seseorang yang jatuh kecelakaan, kulitnya lecet cukup parah, harus dijahit supaya lukanya tertutup dan aman dari infeksi. Itu pula yang terjadi pada tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sejak kepemimpinan KH. Yahya Cholil Staquf  (Gus Yahya) pasca Muktamar ke-34 di Lampung 2021. 

Pergantian kepemimpinan PBNU, dari Kiai Sa’id Aqil Siradj ke Gus Yahya, bukan proses “moulting”, atau pergantian kulit luar, di mana kulit lama ditinggalkan dan berganti kulit baru.

Lebih tepatnya, pergantian kepemimpinan ini merupakan kecelakaan fatal, yang menyebabkan kulit lecet dan daging terkelupas.

PBNU tidak saja menyaksikan pergantian karakter kepemimpinan dan program kerja yang berbeda. Lebih dari itu, PBNU disuguhkan fenomena sosial berupa keterbelahan elit dan warga NU.

Satu kubu ingin berdakwah dalam ranah sosial, kebudayaan, dan keagamaan. Kubu lain ingin berdakwah di seluruh ranah, termasuk politik praktis.

Perbedaan corak dakwah sejatinya bukan perkara besar. Karena setiap manusia memiliki watak, pemikiran, dan tindakan yang berbeda sebagai insan manusiawi. Namun, ketika kekuasaan dipakai untuk tujuan penyeragaman, dialektika musnah dan kebebasan dirampok.  

PBNU selama dipimpin Kiai Said bercorak dan berkarakter seperti PBNU era 1999, yang berdakwah sesuai amanah Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Yaitu, di satu sisi, menjadi ormas keagamaan yang berdakwah di bidang sosial, budaya, pendidikan, ekonomi, dan keagamaan.

Di sisi lain, menggarap ranah politik praktis, dengan menggalang suara warga NU dan menyalurkannya melalui PKB

Setelah PBNU dipimpin Gus Yahya, interpretasi terhadap amanah Muktamar Situbondo 1984 menjadi semakin sempit dan salah kaprah. Gus Yahya mengartikan “kembali ke Khitthah 1926” sebagai penarikan diri dari gelanggang politik praktis.

Seandainya interpretasi Gus Yahya semacam itu benar adanya, otomatis mendeligitimasi para alim ulama dan para kyai sepuh yang melahirkan PKB di tahun 1999.

“Kembali ke Khitthah 1926” bukan berarti penarikan diri dari politik praktis. “Kembali ke Khitthah 1926” adalah strategi dakwah yang terdiri dari dua paradigma.

Pertama, NU sebagai ormas keagamaan yang berdakwah di seluruh ranah kehidupan terkecuali politik praktis.

Kedua, PKB sebagai partai politik yang dikhususkan berdakwah di ranah politik kekuasaan sebagai representasi NU.

NU dan PKB berperan sejajar sebagai instrumen-instrumen dakwah warga NU.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait