Menjahit 'Luka' dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU

Menjahit 'Luka' dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU

Kiai Imam Jazuli (kaos oblong putih) bersama Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar.--

Gus Yahya memang benar dalam melarang "jajaran pengurus NU" dari pusat sampai daerah menggalang suara warga NU. Namun, Gus Yahya melakukan kesalahan dalam melarang menyalurkan suara warga NU ke satu partai politik (PKB).

Lebih-lebih Gus Yahya membiarkan potensi suara NU bebas mengalir ke partai politik manapun. Ini adalah bid’ah politik pengurus PBNU.

Sunnah politik pengurus PBNU adalah menjadikan NU sebagai ormas sosial keagamaan bagi warga NU, dan PKB sebagai partai politiknya orang NU.

Sunnah inilah yang dilakukan oleh para kyai dan alim ulama NU sejak Muktamar 1984 sampai pendirian PKB 1999. Para alim ulama memang tidak menggunakan ormas NU untuk kepentingan politik, karena sudah ada PKB yang khusus untuk menyuarakan aspirasi politik warga NU.  

Interpretasi Gus Yahya terhadap amanah Muktamar 1984 tentang kembali ke khitthah 1926 sulit diterima, bahkan dengan mengatakan bahwa interpretasinya mungkin mengandung kebenaran.

Seandainya interpretasi Gus Yahya memang benar, tetap saja tidak fungsional untuk mengatasi dampak di tingkat akar rumput yang terlanjut terbelah.

Mungkin saja benar Gus Yahya memiliki kepribadian yang berbeda dari Kiai Said, sehingga karakter kepemimpinannya di organisasi NU juga berbeda.

Kalau begitu, perbedaan Gus Yahya dan Kiai Said bukan “Tsawabit” melainkan “Awaridh”. Bukan hal-hal pasti, tetapi sekedar fenomena dan peristiwa.

Hasan Hanafi (2023), dalam bukunya "Jamaludin al-Afghaniy", mengatakan, "wa bi istiqra-il afradi was syu'ubi tujadu na'ratun lil jinsi wat ta'asshubu lahu, wa lakinnahu laisa minas tsawabiti fi thab'iatil basyariyati bal minal 'awaridhiha" (hlm. 152).

Membaca karakter setiap individu manusia maupun bangsa-bangsa di dunia, terlihat adanya kecintaan dan fanatisme pada diri sendiri. Tetapi, fanatisme semacam itu bukan perkara pasti dan tetap (tsawabit) melainkan hanya sebatas gejala atau simtom (awaridh) yang pasti selalu berubah-ubah. 

Berdasarkan sudut pandang Hasan Hanafi ini, penggalangan suara Nahdliyyin untuk mendukung PKB pada Pemilu tahun 1999, termasuk yang dilakukan Kiai Said pada Pemilu 2019, bukan tsawabit. Buktinya, Gus Yahya melarang pengurus PBNU menggalang suara warga NU untuk kepentingan PKB semata. Peristiwa ini adalah ‘Awaridh. Bukan Tsawabit.

Satu-satunya yang bisa disebut Tsawabit adalah fakta bahwa Gus Yahya maupun Kiai Said adalah tokoh-tokoh NU, yang sama-sama menjadi panutan umat masing-masing. Karena mereka berdua adalah pemimpin-pemimpin NU, maka sudah selayaknya ada upaya-upaya yang disebut oleh Hasan Hanafi sebagai “al-ukhuwah al-islamiah” dalam rangka menjemput “al-wahdah al-islamiah”. 

Hasan Hanafi mengatakan bahwa "al-wahdatu al-Islamiatu fa innaha taqumu 'alal ukhuwatid diniyati." Terciptanya persatuan umat muslim harus dibangun di atas persaudaraan keagamaan (hlm. 152). Tawaran Hasan Hanafi ini jauh lebih fungsional untuk kepentingan menyatukan kembali warga NU yang terlanjur retak dan terbelah di tingkat akar rumput.

Di masa depan, sudah tidak perlu lagi ada dikotomi antara warga NU aliran Kiai Said  versus NU aliran Gus Yahya, Gusdurian ala Muhaimin Iskandar versus Gusdurian ala Yenny Wahid.

Dikotomi semacam ini hanya dipahami oleh elite, tetapi berbahaya di akar rumput. Di masa depan hanya ada Satu, yaitu: Satu NU, Satu Gusdurian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: