Kenapa Intoleransi Ekonomi Merusak Tatanan Bonus Demografi?
8 TANTANGAN strategis yang dihadapi Indonesia 5 tahun ke depan versi Prabowo-Gibran. Foto: kapal TNI AL berpatroli di Laut Natuna Utara.-Kemenko PMK-
PUNCAK bonus demografi di Indonesia berdasarkan kalkukasi para ahli akan mulai dirasakan pada 2030. Bonus demografi adalah istilah untuk menyebut sebuah periode di mana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih besar daripada usia nonproduktif dengan proporsi lebih dari 60 persen dari total penduduk.
Pada tahun 2020 saja, BPS mencatat jumlah angkatan kerja sebanyak 140 juta dari total 270, 20 juta jiwa. Jika dilihat dari hasil survey IDN Research Institute (2020) maka keterkaitan antara bonus demografi dan eksistensi kaum milenial sangat klir. Sekitar 50, 36 persen dari jumlah penduduk usia produktif adalah generasi milenial.
Meski menggunakan istilah bonus, namun ia tidak memberikan garansi keuntungan apa-apa bagi suatu negeri. Keuntungan bonus demografi akan mewujud apabila masa dan peristiwa tersebut dikelola dengan mengandalkan good management, bukan mengandalkan good luck (kebetulan).
BACA JUGA:Koalisi Perubahan; Satu Potret Asal-usul Pemikiran dan Gerakan
Kajian terhadap kesuksesan Korea Selatan dan Tiongkok dalam meng-empower bonus demografi menjadi kemajuan dan kemakmuran, mengerucut pada tiga hal berikut:
- Peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama secara karakter dan kompetensi;
- Agenda pembangunan yang mampu menyerap secara optimal tenaga kerja; dan
- Kemudahan akses bagi usia produktif terhadap berbagai ruang untuk berprestasi di berbagai bidang, misalnya di politik, profesional, kampus, dan lain-lain.
Artinya, tanpa good management, bonus demografi sangat berpotensi menghasilkan bad surprise!
Karena itu, demokrasi ekonomi menjadi kata kunci dalam pembangunan bangsa sekalipun ia tidak berdiri sendiri. Bahkan kerap dikaitkan dengan kualitas intelektual, keahlian, dan karakter. Sebab, begitu terjadi intoleransi ekonomi, ia melahirkan dampak destruktif ke seluruh tatanan dan sendi pembangunan.
Daya Rusak Intelorensi Ekonomi
Intoleransi ekonomi ditandai dengan kesenjangan ekonomi, tirani ekonomi dengan kekuasaan, dan munculnya sekat-sekat yang merusak keharmonisan sosial secara esensial. Kasus Rempang dan semisalnya adalah potret berlangsungnya tirani yang akan merusak keharmonisan sekaligus tatanan kebangsaan.
Intoleransi ekonomi mengawali rusaknya demokrasi politik. Untuk melanggengkan tirani ekonomi, dibutuhkan berbagai cara agar cost politik menjadi mahal dan eksklusif. Ketika itu terjadi maka siklus politik akan memperkuat intoleransi. Ruang politik akan menjadi eksklusif bagi para pemuda yang memiliki akses ke ekonomi dan kekuasaan sehingga bonus demografi menjadi ancaman pembangunan.
Intoleransi ekonomi menyuburkan disharmoni di tingkat akar rumput dan radikalisme. Karena itu, Mantan Ketua PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siroj menyebut bahwa justru toleransi ekonomilah yang perlu digalakkan, sebab kesenjangan ekonomi menjadi faktor terciptanya konflik di masyarakat.
BACA JUGA:Menjahit 'Luka' dengan Ukhuwah Islamiah, atau MLB NU
Radikalisme atas nama agama dalam praktiknya bukanlah problem, tetapi akibat dari problem. Salah satu problem yang mengakibatkan akibat berupa radikalisme adalah intoleransi ekonomi ketika terjadi secara kebablasan. Berbagai riset mengungkap bahwa justru kaum milenial yang akrab dengan internet yang lebih pro ke ide-ide radikal sebagai respon terhadap kesenjangan.
Intoleransi ekonomi juga menciptakan mata rantai buruknya kualitas SDM secara karakter dan kompetensi. Kesenjangan dan tirani ekonomi telah menjauhkan masyarakat dari akses pada kualitas pendidikan yang berbobot. Ketika hal itu terjadi tanpa henti, maka krisis SDM berkualitas semakin membara justru di tengah maraknya pembangunan infrastruktur dan pabrik-pabrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: