Memahami Rahmatan Lil 'Alamin serta Ketidakselarasan antara Ucapan dan Tindakan di Komunitas NU

Memahami Rahmatan Lil 'Alamin serta Ketidakselarasan antara Ucapan dan Tindakan di Komunitas NU

KH Imam Jazuli Lc--

Di zaman ketika kearifan dan kebijaksaan retoris bisa dikatakan oleh semua orang, maka yang paling dibutuhkan adalah perbuatan yang selaras dengan ucapan. Itu inti pelajaran ayat 3 surat ash-Shaff di atas; bagaimana filosofi "merangkul", "merekatkan," dan "berdiri di atas semua golongan" menjadi misi perjuangan, bukan retorika kosong.

Tentu saja tugas ini semakin berat di pundak komunitas Nahdliyyin (kita); karena ucapan akan diukur dan diuji oleh publik dengan perbuatan yang dipertontonkan. Jangan sampai seperti pepatah "jauh panggang dari api". Karena nyaris pepatah ini menjadi satu-satunya yang pas menggambarkan perilaku Nahdliyyin hari ini.

Kita warga Nahdliyyin memang harus sedih, misal gencarnya akademisi yang menyoroti merosotnya NU sebagai ormas Islam yang mempromosikan moderasi. Kritik itu muncul dalam artikel "Why NU and Muhammadiyah play dwindling roles in Indonesia's urban communities", ditulis Hamzah Fansuri (2022), mahasiswa doktoral University of Heidelberg.

Kritikan mahasiswa itu memang ada benarnya. Tidak sepenuhnya salah. Karena memang tidak bisa dipungkiri, sebagian komunitas Nahdhiyyin saat ini hampir sulit mewujudkan jargon Islam Rahmatan Lil 'Alamin ke dalam perilaku sehari-hari mereka, lebih-lebih memasuki tahun politik seperti sekarang.

Jadi, memang bukan masalah tahun politik, jauh sebelum tahun politik sekalipun, seperti hasil amatan Hamzah Fansuri di atas, ormas NU sudah semakin jauh dari cita-cita ideal Islam Rahmatan Lil 'Alamin. Walaupun tahun politik menjadi batu ujian paling keras untuk membongkar borok terpendam selama ini.

Misalnya, di banyak percakapan grup WhatsApp dan selebaran-selebaran, masih kuat istilah-istilah seperti "Minna" dan "minhum"; (golongan kami, Nahdliyyin) versus golongan mereka (non-Nahdliyyin) dengan mengobarkan semangat permusuhan dan kebencian kepada sesama muslim. Apalagi sejak bersatu partai politik PKS dan PKB, term "minna" versus "minhum" semakin mengkristal, menjadi penyakit akut yang sulit diobati.

Hemat penulis, hipotesa Hamzah Fansuri di atas bisa ditarik ke akar persoalan yang lebih fundamental, yaitu masalah perilaku sosial orang-orang yang belum "tabahhur fil ilmi"; mendalam secara ilmu pengetahuan.

Orang yang luas cakrawala berpikirnya maka pasti wasatiyyah (moderat). Sebaliknya, orang yang ang keras kepala, saklek, dan radikal dalam beragama, baik "minhum" ataupun "minna" biasanya orang-orang awam, yang kurang dalam hal wawasan keagamaanya.

Sebab, sudah menjadi ijma' kaum akademisi sejati bahwa tidak ada kebenaran absolut, kecuali nilai-nilai universal, seperti persatuan, persaudaraan, kesatuan, perdamaian, dan sejenisnya. Hal-hal yang bersifat fanatisme buta harus dijauhi. Untuk itu, agar jargon Islam Rahmatan Lil 'Alamin terbukti nyata, sudah saatnya sebagian komunitas Nahdhiyyin kembali menunjukkan perilaku sosial, keagamaan, ekonomi dan politik yang moderat, supaya tidak dicap sebagai orang munafiqin menurut Al-Qur'an. Wallahu a'lam bis shawab. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: