Urgensi Ukhuwah Islamiah dan Wathaniyah, Dulu dan Sekarang

Urgensi Ukhuwah Islamiah dan Wathaniyah, Dulu dan Sekarang

Ustadz Bakhtiar Nasir dan KH Imam Jazuli LcMA di Cirebon. Foto kanan, Habib Rizieq Shihab dan Muhaimin Iskandar. -Dokumentasi Harian Disway-

Hal itu menunjukkan persaudaraan adalah substansi ajaran Islam dalam membangun komunitas, yang kelak menjadi bangsa dan negara. Hari ini, ajaran inti Islam tentang kebangsaan sedang mendapatkan tantangan, lebih-lebih di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim.

Dalam rangka mewujudkan cita-cita itu pada awal masa kemerdekaan lahirlah Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang menjadi wadah bagi tokoh dan organisasi Islam setelah kemerdekaan. Dibentuk pada 7 November 1945, Masyumi pernah menjadi kisah manis ketika organisasi Islam bersatu dalam satu wadah, sebagai reaksi dari kurang terwakilkannya tokoh Islam dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Masyumi didirikan atas inisiatif tokoh-tokoh dari empat organisasi Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia sebagai gerakan ukhuwah wathoniyah wal wihdah menuju cita-cita berdirinya negara Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur.

Kepengurusan awal Masyumi seperti mencerminkan sifat persatuan anak bangsa dari umat Islam. Ketua Majelis Syuro saat itu ditempati KH Hasyim Asy’ari dari NU. Lalu Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah sebagai Ketua Muda I dan KH Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda II. Sedangkan untuk level Pimpinan Pusat Masyumi diketuai oleh Soekiman, politisi yang pernah di Sarekat Islam. Sedangkan beberapa anggota terdiri dari tokoh muda Islam baik perorangan maupun organisasi.

Jejak manis Masyumi memang menjadi pengingat dan lambang ukhuwah Islamiah- wathoniyah dan satu-satunya wadah politik umat Islam yang berpuluh tahun diupayakan ditengah perpecahan, konflik dan perbedaan yang mewarnai perjalananya.

Saatnya Mengakhiri Konflik Menuju Persatuan dan Persaudaraan

Dalam satu dekade terakhir, konflik umat muslim berkembang cepat, dari yang semula antar ormas keagamaan berubah menjadi konflik internal. Sebut saja kasus NU. 

Pada periode pertama pemerintah Joko Widodo, warga dan ormas NU seakan-akan menilai orang-orang Hizbut Tahrir, FPI, bahkan partai politik PKS sebagai musuh bebuyutan. Akhirnya dengan dukungan ormas NU, salah satunya, HTI dibubarkan dan izin FPI tidak diperpanjang.

Dinamika politik berubah. Pada periode kedua Jokowi, warga dan ormas NU sudah tidak lagi memiliki musuh imajiner. Sebagaimana pelajaran dari sejarah umat manusia, setiap kali peradaban mencapai puncak, maka tiba giliran kehancuran, yang dimulai dari konflik internal.

Ini pula yang terjadi. Ketika NU dan warga NU tidak memiliki musuh imajiner mereka, katakanlah seperti HTI dan FPI, maka internal NU mengalami perpecahan. Dimulai sejak era kepemimpinan Gus Yahya Sampai sekarang.

Di lain sini, Walaupun sudah mulai ada gerakan Ukhuwah Islamiah, bahkan Wathaniah yang dilakukan oleh sebagian ulama NU, seperti membangun kembali komunikasi dengan mantan-mantan aktivis HTI dan FPI, namun kenyataan itu dinilai bermasalah bagi sebagian elite warga NU.  Mereka umumnya masih ta'assub buta fanatik golongan secera berlebihan dan selalu menganggap yang lain adalah musuh. 

Inilah tantangan dan hambatan besar yang dihadapi umat muslim Indonesia hari ini. Menjalankan ajaran Ukhuwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw terasa amat berat di implementasikan. Padahal, masih dalam kategori sesama umat muslim, tetapi tampak berat bagi sebagian elite NU untuk membangun tali asih, tali asuh, dengan mantan-mantan HTI, FPI, alumni 212, dan sejenisnya termasuk dengan PKS.

Tidak perlu heran  jika kalimat Islam Rahmatan lil 'Alamin, Tasamuh, tawazun dan ta'adul bahkan Ukhuwah Islamiah yang sering di dengungkan elit NU/ pengurus PBNU terasa hanya pepesan Kosong belaka, karena senyatanya masih memandang yang berbeda faham keagamaan sebagai musuh bukan sebatas kompetitor dalam dakwah Islamiah. Ini sungguh ironis !!

Menapaki jejak betapa pentingnya ukhuwah Islamiah dan wathoniyah di atas, maka berkoalisinya PKB dan PKS adalah salah satu langkah brilian untuk menggapai jejak sejarah masa lalu Zaman Nabi dan mewujudkan cita-cita Masyumi. Tetapi memang benar, membangun Madinah Munawwarah atau Indonesia dengan semangat ukhuwah Islamiah dan wathoniyah tidak mudah. Egosentrisme dan Fanatisme buta masih menjadi mendung gelap yang menyelimuti hati dan kesadaran kita hari ini. Wallahu a'lam bis shawab. (*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: