Pilihan Rakyat, Sengketa Pemilu, dan Wacana Hak Angket

Pilihan Rakyat, Sengketa Pemilu, dan Wacana Hak Angket

Dr Sulaiman N. Sembiring--

Sampai dengan tulisan ini dibuat, perolehan suara versi quick count tersebut ternyata lebih kurang sama dengan hitungan nyata (real count) KPU, Di mana Prabowo-Gibran memperoleh suara 58,83%, Anis-Muhaimin memperoleh 24,37%, dan Ganjar-Mahfud di angka 16,18%. Prediksi banyak pihakpun, presiden dan wakil presiden pilihan rakyat untuk masa bakti 2024-2029 adalah Prabowo-Gibran (CNBC Indonesia, 25/2/2024). 

Gambaran perolehan suara di atas menjelaskan pilihan rakyat atas siapa yang mereka inginkan sebagai capres-cawapres atau pemimpin mereka untuk masa bakti 2024-2029, yang mana seharusnya dihormati dan tidak dicederai dengan memunculkan wacana hak angket tersebut.

Mungkin ada pihak-pihak yang menganggap bahwa masyarakat yang selama ini lebih banyak diam dapat diarahkan dan diprovokasi melalui berbagai manuver dan penyebarluasan isu-isu yang mengarah kepada penjatuhan kredibilitas berupa fitnah, pelecehan,  dan bentuk-bentuk bullying lainnya serta agar tidak memilih paslon capres-cawapres tertentu, yang terasa begitu memuncak menjelang hari-hari pemungutan suara.

Faktanya, cara-cara murahan dan tidak bermartabat tersebut gagal dan rakyat telah memilih pemimpin yang mereka inginkan sebagaimana tergambar dari quick count lembaga survei dan real count KPU. Namun demikian, terkait dengan hasil akhir siapa yang benar-benar dinyatakan sebagai pemenang Pemilihan Presiden dalam Pemilu 2024, tentu kita harus menghormati dan menunggu pengumuman resmi KPU selaku penyelenggara sah Pemilu. 

Sengketa Pemilu

Adalah keniscayaan atau suatu kepastian apabila dalam setiap kontestasi Pemilu di negara mana saja sebagaimana Pemilu di Indonesia akan menghasilkan adanya pasangan capres-cawapres yang menang dan pasangan yang kalah. Persoalannya adalah sejauh mana pihak yang kalah dan partai politik mendukungnya bersedia berendah hati atau legowo untuk menerima kekalahan tersebut.

Namun demikian apabila pihak yang kalah menganggap telah terjadi kecurangan atau pelanggaran dalam pemilu maka UU No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu dan UU No 7 Tahun 2023 Tentang Perubahannya, memberikan hak dan koridor bagi pihak-pihak yang ingin mempersoalkan kecurangan atau pelanggaran tersebut. 

Sengketa Pemilu tersebut diantaranya adalah berupa pertama, pelanggaran administratif  yang dapat dilaporkan kepada Bawaslu secara berjenjang dari tingkat kabupaten/Kota, dan Bawaslu provinsi dan tingkat nasional yang meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu, termasuk apabila ada bukti-bukti pendukung mengenai terjadinya pelanggaran administratif yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif.

Andaipun para pihak tidak puas dengan putusan Bawaslu maka para pihak bisa mengajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 460-466). Atas putusan Bawaslu, KPU wajib untuk menindaklanjuti putusan tersebut termasuk memberikan sanksi diskualifikasi.

Kedua, sengketa mengenai proses Pemilu yang juga dapat diajukan ke Bawaslu, meliputi sengketa yang terjadi antara peserta pemilu dan sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, Keputusan KPU Provinsi dan Keputusan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 467-472).

Ketiga, sengketa perselisihan hasil Pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) RI, yang meliputi perselisihan antara KPU dan peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, yang untuk capres-cawapres adalah yang meliputi perselisihan penetapan suara yang dapat mempengaruhi penetapan hasil Pemilu Presiden dan wakil presiden.

Dalam perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu presiden dan wakil presiden, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilu Presiden dan wakil presiden oleh KPU, hanya untuk suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon (Pasal 473-475).  Sebagaimana ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada Tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat yang diantaranya adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.  

Selain pelanggaran administratif dan sengketa pemilu tersebut, UU Pemilu juga mengatur mengenai Tindak Pidana Pemilu, Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu yang dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam Gakkumdu.

Cukup banyak ragam dan bentuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu yang diantaranya adalah: “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih; Setiap anggota PPS atau PPLN yang dengan sengaja tidak mengumumkan dan/atau memperbaiki daftar pemilih sementara setelah mendapat masukan dari masyarakat dan/atau Peserta Pemilu, atau Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye”. Ketentuan mengenai pidana Pemilu diatur dalam Pasal 476 sampai dengan Pasal 554. 

Uraian singkat di atas menjelaskan bahwa pada dasarnya UU Pemilu telah menyediakan sejumlah koridor atau mekanisme yang dapat digunakan para pihak yang merasa dicurangi atau melihat adanya pelanggaran dalam Pemilu. Khususnya untuk sengketa hasil pemilu yang dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi, patut dicatat bahwa putusannya akan bersifat final dan mengikat. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: