Sayyid Muthahar
Kang Marbawi, 280724-Istimewa-
Sejak jaman kerajaan di nusantara, Sang Dwiwarna telah berkibar.
Kerajaan Singosari, Majapahit, pejuang Aceh, Sisingamangaraja XII, Pangeran Dipenogoro, Raja Alung Palakka dari Bone telah mengibarkan sang Waromporang-bendera Merah Putih- simbol kekuatan dan perlawanan.
Ada tuah dalam selembar kain itu. Tuah yang lahir dari sejarah, budaya, air mata, nyawa, harta, penderitaan, perbudakan, dan perlawanan yang tak hingga dari rakyat Indonesia. Demi simbol suci bangsa.
Mewujud dalam kesaktian untuk bisa menyatukan dan menggerakkan rakyat demi berkibarnya bendera Merah Putih.
Dimanapun, kapanpun hingga akhir jaman.
Sang Saka Merah Putih, adalah metamorfosis darah dan tulang dari jutaan rakyat Indonesia yang rela berkalang tanah.
Mengorbankan dan dikorban serta menjadi korban demi kedaulatan, kemerdekaan dan berkibarnya Merah Putih.
Sang Dwiwarna adalah kedaulatan yang harus dijaga dan dibela.
Sang Saka adalah wujud dari cita luhur persatuan, kedaulatan, kejayaan dan kemakmuran bangsa.
Di Merah Putih, wujud kebanggan menjadi Bangsa Indonesia.
Cita itu, belum terwujud penuh.
Belum diresapi makna dan cita perjuangannya.
Sebab sang Dwiwarna hanya diukupi disetiap upacara. Hanya itu!
Cita Sang Saka Merah Putih belum nampak dalam kebijakan yang berpihak kepada rakyat.
Cita yang dirusak oleh laku koruptif, etika yang tersungkur, kekerasan yang menjadi budaya dan hukum yang dipecundangi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: