Sapaan Sang Giri, Novel Tentang Sepenggal Sejarah yang Kurang Dikenal
Ilustrasi Cover Buku Novel Sapaan Sang Giri-Istimewa-
JAKARTA, DISWAY.ID - Dalam dunia sastra, novel-novel sejarah seringkali menghadirkan pandangan-pandangan baru mengenai penyebab dan konsekuensi dari tindakan dari suatu peristiwa, sehingga memungkinkan kita belajar dari keberhasilan dan menghindari pengulangan kesalahan.
Hal itulah yang Isna Marifa tuangkan dalam novel Sapaan Sang Giri.
BACA JUGA:Angkat Tema Perbudakan, Novel Sang Giri Hadirkan Pandangan Baru dalam Dunia Sastra Indonesia
BACA JUGA:Berkenalan dengan Sapaan Sang Giri, Novel Tentang Perbudakan Orang Jawa di Afrika Selatan
Dalam novel ini, para pembaca dapat melintasi waktu, berjalan beriringan dengan seorang anak perempuan dan ayahnya dari Jawa, menjelajah kehidupan mereka di tanah rantau yang saat itu sedang dikembangkan sebagai koloni oleh VOC.
Mengisahkan tentang karakter Parto dan Wulan, yang mendapati diri mereka diperbudak di Tanjung Harapan, Afrika Selatan karena ketidakmampuan Parto membayar utang. Bersama rekan-rekan buruh perkebunan, mereka berupaya mempertahankan budaya dan cara hidup Jawa di lingkungan asing tersebut. Melalui penceritaan yang rumit dan pengembangan karakter yang bernuansa, Sapaan Sang Giri tidak hanya menggali kerinduan para karakter terhadap tanah airnya tetapi juga memberikan gambaran sekilas tentang sejarah Jawa dan Cape Colony.
Menurut Penyair dan Pengiat Hak Asasi Manusia, Putu Oka Sukanta, Sapaan Sang Giri miliki Isna Marifa telah memberikan nyawa serta menghidupkan serpihan-serpihan sejarah penindasan kolonial di tanah Jawa dan Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
"Novel ini merupakan perpaduan hasil penelitian yang cermat dan garapan sastrawi, sehingga menjadi bacaan yang berbobot dan lancar dibaca," Ujar Oka dalam sambutannya pada acara Media Gathering dan Diskusi yang diadakan di Pusat Kesenian Dia.lo.gue, Kemang, pada hari Sabtu 3 Agustus 2024.
BACA JUGA:Mengenal Kelamnya Sejarah yang Terlupakan lewat Novel Sapaan Sang Giri Isna Marifa
Selain itu, para pembaca juga diajak untuk mengenal Komunitas Cape Malay di Afrika Selatan di abad ke-17 dan ke-18, yaitu ketika individu-individu yang diperbudak dari berbagai bagian Asia Selatan dan Tenggara, khususnya kepulauan Nusantara, dibawa ke Cape Colony oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda. Meskipun menghadapi kondisi perbudakan yang keras, komunitas Cape Malay berhasil mempertahankan identitas budaya mereka melalui perpaduan tradisi leluhur, pengaruh lokal, dan elemen Eropa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: