Pengamat Nilai Tren Rekrut Artis untuk Jadi Cakada Dalam Pilkada Diskriminasi Anak Muda

Pengamat Nilai Tren Rekrut Artis untuk Jadi Cakada Dalam Pilkada Diskriminasi Anak Muda

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak berwenang untuk mempertanyakan kredibilitas suatu lembaga survei-Annisa Amalia Zahro-

JAKARTA, DISWAY.ID-- Pengamat politik dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai tren merekrut artis untuk menjadi calon kepala daerah (Cakada) lewat pemilihan umum kepada daerah (Pilkada) mendiskriminasi anak muda.

Merekrut artis untuk terjun ke dunia politik memang bukan fenomena baru. Namun begitu, ia menyoroti narasi tersebut sebagai bentuk diskriminasi terhadap anak muda.

Padahal, pada dasarnya orang muda lebih diuntungkan dari sisi akses kepada informasi dan teknologi.

BACA JUGA:Tren Artis Terjun Politik dan Ikut Pilkada 2024, Perludem Soroti Hal ini

"Artis tidak serta-merta bisa membeli pengaruh orang muda karena orang muda tadi mereka cenderung lebih aksesibel terhadap teknologi dan informasi," kata Titi kepada wartawan di Kantor KemenPPPA, Jakarta, 9 September 2024.

Sementara pendekatan melalui artis ini bertujuan menaklukkan pilihan politik orang muda. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode ini meremehkan dan tidak menghormati politik orang muda.

"Pendekatan yang mengedepankan artis dengan tujuan untuk menaklukkan pilihan politik orang muda sesungguhnya adalah tindakan politik yang meremehkan dan tidak menghormati politik orang muda," terang anggota Dewan Pembina Perludem ini.

Meski begitu, ia menegaskan bahwa setiap orang, baik artis, dosen, aktivis, teknokrat, atau profesi apa pun berhak untuk terjun ke dunia politik.

"Namun yang jadi persoalan adalah dalam banyak hal, artis ini cenderung dieksploitasi untuk kepentingan elektoral semata. Apa pun dan siapa pun mereka bisa masuk ke dunia politik, mestinya tetap melalui dengan kaderisasi dan rekrutmen politik yang demokratis," lanjutnya.

BACA JUGA:Dengarkan Anak Muda, SBY: Banyak Pemimpin Sama dengan Banyak Matahari, Akan Menyebabkan Kekacauan

Dalam hal ini, banyak artis yang langsung dinominasikan dalam Pilkada tanpa adanya proses internalisasi nilai-nilai dan kaderisasi partai.

Oleh karena itu, lanjut Titi, akhirnya terjadilah political shock (seperti culture shock), yang biasanya mereka tidak pernah berurusan dengan birokrasi dengan pemerintahan lalu, juga tidak pernah terjun dalam politik praktis, harus berelasi dengan aktor-aktor politik, itu menimbulkan kegagapan politik.

"Bahkan ada beberapa yang kemudian menjadi tidak puas dengan jabatan yang mereka menangkan di Pemilu atau Pilkada," ungkapnya.

Sehingga, kinerja para artis yang menjadi politikus dadakan tersebut tidak menonjol dan tidak terlalu bisa berkontribusi dalam mencapai tujuan pemerintahan di daerah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads