Riza Chalid, Sosok Saudagar Minyak yang Kini 'Kabur' ke Singapura
Sosok Riza Chalid, tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak.-pinterest-
JAKARTA, DISWAY.ID-- Mohammad Riza Chalid, atau lebih dikenal sebagai Reza Chalid, adalah pengusaha Indonesia yang namanya kini kembali mencuat akibat kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah periode 2018–2023.
Pria kelahiran 1960 ini telah lama dikenal sebagai "Saudagar Minyak" karena dominasinya dalam bisnis impor minyak melalui Petral, yang berbasis di Singapura.
Dengan kekayaan yang diperkirakan mencapai USD 415 juta pada 2015, Riza Chalid menjalankan berbagai bisnis, mulai dari ritel mode, perkebunan sawit, industri minuman, hingga perdagangan minyak bumi. Namun, di balik kesuksesannya, ia malah terseret kasus hukum.
Riza Chalid dan anaknya, Kerry Adrianto (38 tahun) kini menjadi tersangka di kasus korupsi tata kelola minyak yang tengah ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung).
Riza Chalid diketahui memulai kariernya sebagai broker surat-surat kapal, sebuah langkah awal yang membawanya masuk ke dunia perdagangan minyak.
Ia kemudian menjadi figur kunci dalam bisnis impor minyak melalui Petral, yang mengelola sebagian besar rantai pasok minyak mentah dan produk kilang Pertamina.
Dengan pengaruhnya yang besar, Riza berhasil membangun kerajaan bisnis yang mencakup berbagai sektor, menjadikannya salah satu pengusaha terkaya di Indonesia.
Dalam perjalanan kariernya, Riza kerap terseret dalam berbagai skandal. Seperti skandal "Papa Minta Saham" pada 2015–2016.
Di mana saat itu menjadi perhatian publik, karena melibatkan Setya Novanto, Ketua DPR RI di masanya.
Riza lolos dari jerat hukum, kemudian namanya terseret dalam dugaan markup pembelian pesawat Hercules pada 1996.
Kini, Juli 2025, Kejagung telah menetapkan Riza Chalid sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023.
Riza, sebagai beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan PT Orbit Terminal Merak (OTM), diduga melakukan intervensi kebijakan yang merugikan negara.
Salah satunya adalah menyusupkan kerja sama penyewaan Terminal BBM Merak yang tidak dibutuhkan, menghilangkan klausul kepemilikan aset, dan menetapkan harga kontrak tinggi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: