bannerdiswayaward

Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Menyulam Martabat di Tepi Tembok Kampus: Evolusi Gerakan Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya

Penampilan talenta anak-anak dari komunitas di Malang pada Festival Kampung Cempluk ke-9.-FOTO: UB Malang-

Aksi di lapangan adalah manifestasi dari "Commoning Strategy". Hasil paling signifikan dari strategi ini adalah terbentuknya apa yang disebut Prastyo (2024) sebagai "Lumbung Kebudayaan". Ini adalah wujud nyata dari akumulasi modal sosial; sebuah aset komunal yang terdiri dari kepercayaan, keterampilan, dan jaringan sosial yang kuat. Festival Budaya tahunan adalah momen panen raya dari lumbung ini. Penelitian Prastyo et al. (2025) memberikan bukti kuantitatif atas keberhasilan ini, menunjukkan bahwa manajemen acara (event management) yang berbasis gotong royong secara langsung mendorong praktik pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Studi tersebut juga menemukan bahwa pariwisata berkelanjutan ini bertindak sebagai variabel mediasi krusial yang pada akhirnya memperkuat citra positif kampung (destination branding). Ini adalah validasi ilmiah dari apa yang telah dipraktikkan warga. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu pegiat senior Kampung Cempluk, "Festival ini bukan sekadar acara. Ini adalah hari raya kebudayaan kami, momen di mana kami merasa paling menjadi diri sendiri, paling bangga sebagai orang kampung."

BACA JUGA:Integrasi One Health: Peran Sentral Dokter Hewan dalam Mendukung Ketahanan Pangan

BACA JUGA:Kesehatan Gigi Masyarakat Indonesia: Antara Kebutuhan dan Ketersediaan Dokter Gigi

Masa Depan yang Disulam Bersama: Dari Tembok menjadi Beranda

Program Kampung Lingkar Kampus Universitas Brawijaya adalah sebuah studi kasus yang kaya tentang bagaimana pembangunan yang berkelanjutan dan bermartabat dapat dicapai. Ia berevolusi dari sebuah gerakan budaya di satu kampung, dipercepat oleh pengalaman krisis dalam menginisiasi Kampung Tangguh, hingga menjadi sebuah model ekosistem multi-kampung yang strategis. Kisah KLK adalah deskripsi tentang sebuah tembok yang tidak diruntuhkan, melainkan dialihfungsikan. Dari batas yang memisahkan, ia menjadi latar panggung yang menyatukan. Dari simbol keterasingan, ia menjadi kanvas untuk kolaborasi. Pada akhirnya, program ini adalah sebuah manifesto kecil yang membuktikan kebenaran besar: Indonesia yang kokoh tidak dibangun dari menara-menara gading yang megah, melainkan dari ribuan lumbung budaya yang hidup, berdaya, dan bermartabat di setiap kampungnya. (*)

*) Dr Redy Eko Prastyo SPsi MIKom, Dosen Fakultas Vokasi UB


Dr Redy Eko Prastyo .SPsi.MIKom-Dokumentasi Pribadi-

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads