bannerdiswayaward

Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D - Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Keindonesiaan kita sudah dirumuskan dengan penuh holistik dan universal, dan tugas kita hari ini adalah mengaktifkan kembali nilai-nila universal dan mendalam Pancasila itu da--

Namun nilai-nilai itu kini perlu direvitalisasi dalam konteks digital: bagaimana menciptakan ruang daring yang teduh, bukan gaduh; ruang dialog, bukan debat.

 Kita perlu membangun spiritualitas digital — kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tuhan baru. Bahwa kecepatan tidak boleh menghapus keheningan, dan koneksi tidak boleh menggantikan kedekatan.

Dalam konteks kebangsaan, well-being (kesejahteraan) bukan hanya urusan ekonomi, tetapi urusan makna. Negara yang sejahtera bukan yang hanya makmur, tapi yang warganya merasa damai, berguna, dan berharga. 

Sebagaimana diingatkan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999): pembangunan sejati bukan peningkatan pendapatan, melainkan perluasan kebebasan manusia untuk menjadi dirinya secara utuh.

Refleksi: Menemukan Kembali Keheningan

Mungkin bangsa ini tidak kekurangan pembangunan, tapi kekurangan keheningan.

Kita punya gedung tinggi, tapi jarang punya waktu merenung. Kita sibuk bicara, tapi jarang mendengar. Kita mengejar “hebat”, tapi lupa menjadi “sehat”. 

Kesehatan mental dan kesejahteraan spiritual adalah dua sisi dari satu jiwa yang sama. Keduanya tidak bisa dibangun dengan obat semata, tapi dengan nilai.

Negara harus menumbuhkan kebijakan yang manusiawi; kampus harus menumbuhkan budaya belajar yang menenangkan; keluarga harus menjadi tempat pulang yang memulihkan. Dalam tasawuf, ada istilah sukun: diam yang hidup. 

Diam bukan karena kalah, tapi karena sadar. Dalam diam yang jernih, manusia bisa kembali melihat makna hidupnya.

Sehat bukan berarti bebas dari depresi, tapi mampu menemukan alasan untuk tetap berharap. Di tengah dunia yang semakin cepat, mungkin kebangkitan bangsa justru dimulai dari keberanian untuk melambat. 

Karena sebagaimana ditulis filsuf Perancis Pascal, “Seluruh masalah manusia berakar dari ketidakmampuannya duduk tenang sendirian di kamar.” 

Maka pada Hari Kesehatan Mental Dunia ini, mari kita belajar duduk sejenak — menenangkan diri, menata hati, dan menyapa jiwa yang lelah. Sebab bangsa yang kuat dimulai dari warga yang tenang. Dan jiwa yang tenang adalah tanda negara yang beradab.

Oleh: Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D.

(Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads