bannerdiswayaward

Mahasiswa Unggul, Negara Unggul

Mahasiswa Unggul, Negara Unggul

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--

Di Indonesia, hal itu mendapat resonansi dalam tradisi pendidikan Islam: ilmu harus dibarengi adab.

Al-Attas—melalui Islam and Secularism (1978)—menggarisbawahi bahwa krisis modern bukan krisis ilmu, melainkan krisis adab. Tanpa adab, kecerdasan berubah menjadi kecelakaan.

Penghargaan bagi 633 mahasiswa ini, bagi saya, adalah bagian dari upaya memulihkan adab akademik: mengapresiasi usaha, bukan sekadar hasil; menghargai proses, bukan hanya piala; menumbuhkan keuletan, bukan ketenaran instan.

BACA JUGA:Merebut Panggung Internasional: UIII, Intelektual Muslim Indonesia dan Masa Depan Pendidikan Islam

BACA JUGA:Mencari Kandidat Ketua Umum PBNU Selanjutnya

Sering saya katakan bahwa kampus bukan pabrik gelar. Ia adalah laboratorium kemanusiaan.

Di dalamnya, kita melatih mahasiswa untuk berpikir kritis, tetapi juga berbelas kasih; menguasai teknologi, tetapi tetap menjaga nurani; berkompetisi, tetapi tidak kehilangan kebersamaan.

UNESCO melalui laporan Futures of Education (2024) menegaskan bahwa pendidikan masa depan bukan sekadar mempersiapkan “pekerja”, tetapi membentuk manusia yang mampu mengarungi ketidakpastian dengan kreativitas dan empati. Ini persis yang ingin kita lakukan.

Karena itu, saya selalu menekankan bahwa prestasi akademik harus hidup berdampingan dengan integritas moral.

Kita tidak ingin menghasilkan “teknokrat tanpa etika”—mereka yang bisa membangun jembatan, tetapi tidak peduli siapa yang terjatuh dari tepinya.

BACA JUGA:MQK Nasional Fiqih Siyasah dan Upaya PKB Mewujudkan Generasi Santri yang Nasionalis

BACA JUGA:Kepahlawanan

Penghargaan yang diberikan kepada mahasiswa bukan hanya pengakuan terhadap kehebatan mereka, tetapi juga pembuktian bahwa perguruan tinggi memiliki tanggung jawab sosial.

Mahasiswa yang berprestasi di laboratorium harus mampu menerjemahkan inovasi itu menjadi solusi untuk desa, kota, dan masyarakat.

Filsuf politik Hannah Arendt dalam Between Past and Future (1961) menegaskan bahwa pendidikan adalah tindakan moral untuk mempersiapkan generasi muda memasuki dunia yang “kita warisi tetapi tidak sepenuhnya miliki”.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads