bannerdiswayaward

Antara Hukum Rimba di Jalanan dan Meja Hijau yang Longgar

Antara Hukum Rimba di Jalanan dan Meja Hijau yang Longgar

Polisi mengungkapkan motif pelaku penembakan hansip yang memergoki aksi curanmor di Cakung, Jakarta Timur, karena terdesak kebutuhan hidup-Disway.id/Rafi Adhi-

Bambang Rukminto memaparkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU 1/2023) telah mengatur secara tegas tindak pidana pengeroyokan melalui Pasal 262. Ancaman hukumannya bervariasi, disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan:

Unsur-unsur pengeroyokan dalam Pasal 262 juga sangat jelas dan tidak ambigu:

  • Terang-terangan atau di muka umum (Aksi dapat disaksikan publik).
  • Dengan tenaga bersama (Dilakukan lebih dari satu orang).
  • Terhadap orang atau barang (Sasaran dapat manusia atau objek).

Implementasi Lapangan: Konsistensi yang Hilang

Meskipun aturan hukumnya sudah sangat jelas dan memberikan rentang hukuman yang berat, Bambang Rukminto menilai implementasinya oleh aparat penegak hukum (APH) masih jauh dari konsisten.

"UUnya jelas, hanya saja penegakannya yang masih belum konsisten, sehingga tidak membuat efek jera," katanya.

Kondisi ini menciptakan dua masalah serius:

  • Hukuman Tidak Efek Jera: Hukuman yang dijatuhkan tidak proporsional dengan ancaman di KUHP, sehingga tidak memberikan sinyal kuat kepada pelaku maupun calon pelaku.
  • Budaya Hukum Koruptif: Diperparah dengan dugaan budaya hukum yang koruptif pada APH, yang mengakibatkan hukuman tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Kompleksitas Restitusi untuk Pelaku Anak

Permasalahan penegakan hukum semakin kompleks jika pelaku pengeroyokan adalah anak di bawah umur.

Padahal, KUHP dan sistem peradilan anak telah mengatur konsep restitusi—yakni pertanggungjawaban yang sebagian bisa dialihkan kepada orang tua, termasuk melalui denda. Namun, mekanisme restitusi ini, kata Bambang, jarang dioptimalkan oleh para hakim.

BACA JUGA:Kota Dikeroyok Narkoba, Ormas Menjaga

Jika restitusi tidak dijalankan dan hukuman penjara bagi anak seringkali diringankan, maka tidak ada beban pertanggungjawaban yang dirasakan, baik oleh pelaku maupun keluarganya. Ini berkontribusi pada kegagalan sistem untuk menciptakan efek jera yang menyeluruh.

Urgensi Reformasi Penegakan Hukum: Kunci Memutus Siklus Kekerasan

Analisis Adrianus Meliala tentang pelaku yang brutal karena terdesak dan kritik Bambang Rukminto tentang hukum pengeroyokan yang tumpul akibat inkonsistensi penegakan, sama-sama menunjuk pada satu solusi mendasar: Reformasi Penegakan Hukum yang Menyeluruh.

Tiga Pilar Reformasi Keadilan

Bambang Rukminto menekankan perlunya reformasi yang menyentuh tiga pilar utama dalam proses peradilan:

  • Profesionalisme Aparat: Meningkatkan kapasitas dan integritas APH agar penindakan tidak tebang pilih.
  • Konsistensi Penindakan: Memastikan bahwa penerapan Pasal 262 KUHP dan pasal-pasal lain tentang kekerasan dilakukan secara konsisten, sesuai dengan ancaman hukuman yang tertera.
  • Transparansi Proses: Mewujudkan transparansi di seluruh proses peradilan untuk menghilangkan praktik koruptif yang merusak rasa keadilan publik.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads