bannerdiswayaward

Fondasi Baru Perdamaian Dunia

Fondasi Baru Perdamaian Dunia

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D. - Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Ketika dunia masih dipenuhi konflik, polarisasi geopolitik, dan kompetisi kekuasaan yang tak berujung, muncul satu pertanyaan mendasar: masih adakah aktor global yang menempa-dok disway-

Jika karakter ini dirawat, pendidikan Islam bukan hanya tempat transfer pengetahuan, tetapi mesin pembentuk karakter peradaban.

BACA JUGA:Mohamed Salah Sindir Liverpool: 'Saya Merasa Dijebak dan Tak Lagi Diinginkan'

BACA JUGA:Mualem Sedih Kondisi Pengungsi Banjir Makin Memprihatinkan: Mereka Mati Karena Kelaparan

Kurikulum yang integratif — menghubungkan sains, agama, etika, dan kemanusiaan — dapat menjadikan ruang pendidikan sebagai bengkel perdamaian.

Booker & Dalton (Harvard, 2023) menyebut lembaga pendidikan berbasis nilai sebagai “peace infrastructure,” karena ia menyiapkan aktor masa depan yang memiliki kapasitas moral sebelum kapasitas teknis.

Dalam konteks Indonesia, proyek besar ini sedang berlangsung: pesantren, madrasah, dan UIN sedang bergerak dari sekadar pengajar teks agama menjadi produsen keilmuan, inovasi sosial, dan agen diplomasi peradaban.

Bila seluruh ekosistem pendidikan Islam mengarahkan riset, kemitraan internasional, dan kurikulum ke arah pembentukan karakter kemanusiaan, maka diplomasi perdamaian tidak lagi menjadi urusan kementerian luar negeri semata.

Ia menjadi urusan bangsa: setiap guru adalah penjaga peradaban; setiap kampus adalah kantor diplomasi moral; setiap lulusan adalah duta keadaban.

Dengan cara itu, Indonesia tidak hanya bicara soal perdamaian, tetapi mendidik generasi yang mampu mewujudkannya.

Penutup: Peradaban Dimulai dari Hati

Dunia hari ini dipenuhi kompetisi kekuasaan, penguatan aliansi militer, dan perebutan pengaruh geopolitik.

Namun sejarah menunjukkan: bangsa yang berkuasa tidak selalu menjadi bangsa yang dikenang; yang dikenang adalah bangsa yang menghadirkan kebaikan.

Senjata mungkin dapat menghentikan perang, tetapi hanya akhlak yang dapat menghentikan kebencian.

Inilah alasan mengapa masa depan peradaban tidak akan dibangun oleh negara terkuat, melainkan oleh negara yang paling mampu menghadirkan kepercayaan.

Indonesia memiliki modal budaya untuk menapaki jalan itu. Tradisi toleransi, pluralisme, dan pesantren sebagai pusat tazkiyatun nafs — penyucian jiwa — merupakan sumber etika publik yang jarang dimiliki bangsa lain.

BACA JUGA:Ada Mobil Rescue dan Starlink Mobile, Kemenperin Salurkan Bantuan Bencana Tahap Kedua

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads