Reputasi Kesehatan Sri Lanka Rontok Akibat Cengkeraman Krisis Politik
Anggota Asosiasi Petugas Medis Pemerintah memprotes kekurangan medis dan obat-obatan di Kolombo, Sri Lanka, Rabu 6 April 2022.-FOTO: EPA-EFE-
BANGALORE, DISWAY.ID - Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa pada Selasa 5 April 2022 mencabut keadaan darurat yang disampaikannya pekan lalu dampak krisis politik yang dibayangi ekonomi.
Keputusan ini diambil setelah protes terus mendera seluruh negeri, menuntut pengunduran dirinya yang terus meluas akibat krisis makanan, bahan bakar dan sekarang, obat-obatan.
Serikat pekerja paling kuat di Sri Lanka, Asosiasi Pejabat Medis Pemerintah (GMOA), juga telah menyatakan darurat medis. Alasannya, dokter dan rumah sakit melaporkan kekurangan obat-obatan untuk menyelamatkan jiwa masyarakat miskin.
BACA JUGA:Sebanyak 5.173 WNI Lalu- Lalang di Pintu Perbatasan Malaysia Semenjak Dibuka Kembali
”Kementerian Kesehatan dan pemerintah gagal membuat rencana untuk mencegah runtuhnya layanan Kesehatan publik gratis,” terang GMOA, dalam pernyataan yang dikutip Disway.id dari The Straits Times, Jumat 8 April 2022.
Dokter, perawat, dan pejabat kesehatan masyarakat telah terus berdemonstrasi di banyak rumah sakit di seluruh pulau itu sejak Senin kemarin. Beberapa rumah sakit umum telah menangguhkan operasi rutin dan nyaris tutup total.
Sri Lanka memiliki reputasi menyediakan layanan kesehatan yang layak bagi warganya, rumah sakit menerima perawatan gratis dari pemerintah. Pengobatan, tes, dan konsultasi lanjutan juga gratis.
”Negara kepulauan itu juga telah mampu menyediakan sektor kesehatan dengan biaya lebih murah daripada banyak negara berpenghasilan menengah,” tutur Direktur Eksekutif Institute for Health Policy yang berbasis di Kolombo, Dr Ravindra Rannan-Eliya.
Pada 2019, negara itu menghabiskan 2,9 persen dari produk domestik brutonya untuk perawatan kesehatan, sekitar US$ 122 atau 1.753.237 per orang.
Pada tahun 2018, sistem kesehatan masyarakat Sri Lanka menyediakan setengah dari semua perawatan medis, 95 persen rawat inap, dan 99 persen dari kebutuhan perawatan pencegahan dari 22 juta penduduk, menurut temuan Bank Dunia.
BACA JUGA:Dwikorita: Zero Victim Jadi Tolok Ukur Keberhasilan BMKG
Namun, hari ini, sistem perawatan kesehatan umum berstandar Skandinavia yang terkenal di pulau itu sedang berjuang untuk melakukan perawatan bahkan yang sederhana seperti memberikan suntikan, karena banyak fasilitas medis telah kehabisan anestesi lokal, jarum dan sarung tangan.
”Masalah ekonomi serius di Sri Lanka. Hampir 90 persen obat-obatan esensial diimpor sebagian besar dari India, diikuti oleh Bangladesh dan Malaysia, tetapi impor berhenti beberapa bulan yang lalu,” tutur Dr Palitha Abeykoon, mantan pejabat tinggi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di wilayah tersebut.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: the straits times