Kaum Sufi Berpolitik, Kita pun Harus
KH Imam Jazuli Lc MA-Dok.Disway.id -Disway.id
KETELADANAN dari kaum sufi untuk kita semua mencakup banyak dimensi. Politik kebangsaan adalah satu dimensi yang sufi terjuni. Mereka tampil sebagai orator ulung, memobilisasi massa, dan pusat-pusat tarekat mereka menjadi markaz perlawanan. Dari masa ke masa, sufisme Islam tidak bisa dipisahkan dari aktivitas politik kaum sufi. Pada keteladanan mereka kita hari ini patut belajar dan melanjutkan jejak perjuangannya.
Kita bisa mulai keteladanan kaum sufi dalam berpolitik praktis dari era Daulah Abbasiah, tepatnya pada tahun 796 M., ketika berdiri Ribat di wilayah al-Munastir (Ribat du Monastir), di Tunisia. Gubernur Abbasiah untuk Afrika kala itu adalah Amir Hartsamah bin A'yan. Ribat ini dapat dikatakan sebagai markas perlawanan dan dakwah Islam paling tua.
BACA JUGA:NU Kultural Wajib Ber-PKB, NU Struktural
Ribat al-Munastir tersebut dibangun dengan menyediakan kamar-kamar asrama dan memiliki dua masjid sekaligus. Kamar-kamar tersebut ditempati para mujahid, merenungkan strategi militer, dan menyusun berbagai kegiatan latihan lainnya, sambil menunggu datangnya waktu shalat. Ribat di Munastir ini menjadi saksi mata kebesaran peradaban Islam era Abbasiah pada masa Harun ar-Rasyid.
Di Maroko (Maghribi), zawaya-zawaya memiliki peran seperti ribat-ribat di Tunis. Sementara ribat-ribat ini tidak bisa dilepaskan dari para syeikh tasawuf atau ulama Sufi besar. Misalnya, Ribat di Tilmisan, Al-Jazair, dibangun dekat maqbarah Sayyid Abu Madyan. Atau, Ribat Tafertasset, di dekat Sungai Sebou, Maroko, memiliki masjid dan dua maqbarah Amir Bani Maryan. Ribat Taskidalet di Maroko yang dibangun dekat maqbarah waliyullah dari Bani Yiznassen.
Semua ribat yang disebutkan di atas memiliki syeikh sufi yang terjun langsung ke ranah politik praktis. Misalnya, Ribat Ubbad dekat kubur Abu Madyan di Tilmisan, para salik yang sebelumnya hanya fokus pada dzikir dan ibadah, mulai aktif pada urusan sosial-politik pada masa kepemimpinan Amir Abu Hamhu Musa II (1359-1389), dari Bani Zayyani. Sang Amin meminta para sufi di Ribat Ubbad ini untuk mendukung proyek politiknya mengusai kabilah-kabilah Thawawda.
Selain peran aktif ribat-ribat sufi, sebagai sebuah organisasi keagamaan, ke dalam politik praktis, ada juga peran aktif para sufi sebagai individu. Misalnya, Abu Manshur al-Hallaj (858-922) harus mati di tiang gantungan karena tuduhan telah menyebarkan paham keagamaan yang sesat. Padahal, al-Hallaj adalah korban politik kekuasaan.
Tidak hanya itu, al-Hallaj menulis al-Rasail al-Kubra, kumpulan essai yang berisi penjelasan tentang kewajiban-kewajiban para menteri, yang dituntut untuk menegakkan hukum-hukum Islam dengan benar (Thaha Abdul Baqi Surur, 2020). Al-Hallaj aktif menyampaikan pandangan-pandangan politiknya di Masjid Jami' al-Manshur, dan karenanya kebencian Sultan pada al-Hallaj sangat besar. Sultan menganggap pikiran politik al-Hallaj akan menyebabkan pemberontakan dan kekacauan sosial (Samir al-Sa'idi, 1996).
Ketika Perang Salib pecah, Muhyiddin Ibnu Arabi berteman dengan Penguasa Saljuk Romawi. Ibnu Arabi yang terkenal dengan ajaran Wahdatul Wujud itu aktif berpolitik, terutama mendorong penguasa Saljuk untuk melawan Tentara Salib. Ketika melakukan perjalanan ke Konya Turki, Ibnu Arabi bertemu Sultan Kay Kawus I dan memberikan saran-saran politiknya untuk melarang orang Nashrani meniru pakaian umat Islam, melarang mereka belajar Alquran, dan harus menghormati umat Islam (Muhammad Faruq Sholeh Badri, 2006).
Sejarah Islam Nusantara menjadi saksi sejarah paling dekat dengan kehidupan kita. Islam disebarkan oleh Dewan Walisongo, yang kemudian memilih dan mendukung Raden Fatah menjadi penguasa Islam pertama di Tanah Jawa. Kesultanan Demak Bintoro adalah bukti dari hasil akhir kerja-kerja politis para Wali. Bahkan, seorang anggota Walisongo dari Cirebon, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) adalah seorang raja itu sendiri.
Sudah sangat nyata para Waliyullah menjadi teladan ideal bagi umat muslim, terutama dalam berpolitik praktis. Para Waliyullah tidak pernah gentar membela kebenaran melalui jalur politik praktis, sekalipun itu harus mengorbankan nyawanya sendiri, seperti ditunjukkan oleh Al-Hallaj. Waliyullah tidak pernah segan untuk duduk di kursi kekuasaan politik jika itu memang diperlukan, seperti ditunjukkan oleh Sunan Gunung Jati.
Atau, para Waliyullah tidak pernah mundur untuk terus mendukung dari belakang para politisi menduduki jabatan strukturak, seperti keteladanan Dewan Walisongo dengan Raden Fatah. Keteladanan para wali dalam terjun ke politik praktis ini perlu terus dilestarikan oleh umat muslim, khususnya di Indonesia. Membiarkan kekuasaan politik praktis jatuh ke tangan orang yang tidak tepat adalah pikiran dan perilaku yang salah.
Rasulullah saw telah bersabda: “idza wussidal amru ila ghairi ahlihi fantazhirus sa'ah." Apabila sebuah urusan diserahkan pada orang yang bukan ahlinya maka tinggal menunggu waktu kehancuran (HR. Bukhari).
Hadis di atas mengajarkan kita betapa pentingnya urusan tertentu, apalagi urusan negara, dipasrahan kepada orang yang tepat. Orang yang tepat itu antara lain adalah para kekasih Allah, kaum sufi yang sejak awal sudah banyak berjasa pada politik islam. Kita sebagai warga Nahdliyyin khususnya, yang memiliki keyakinan penuh terhadap para waliyullah sebagai kekasih Allah, tentu sudah menjadi kewajiban untuk terjun ke politik praktis, seperti yang sudah dicontohkan mereka.[*]
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: