Joko Tingkir dan Shalawat Asyghil
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf berpidato pada peringatan 1 Abad NU di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo, 7 Februari 2023. -FOTO: JULIAN ROMADHON-HARIAN DISWAY-
SAYA berbeda dengan Pak Dahlan Iskan. Tentang hal yang paling berkesan dari Resepsi Puncak 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Yang belum lama berlangsung di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur.
Lewat tulisannya berjudul Abad Banser, Pak Dahlan merekam suasana menuju Delta Sidoarjo. Ia memang menjadi salah satu undangan VVIP. Tapi tak berhasil masuk ke lapangan karena sudah tertahan macet di jalan tol. Berjam-jam.
Mantan Menteri BUMN ini harus puas dengan menyaksikan jalannya resepsi lewat streaming di telepon cerdasnya. Tentu tidak akan sama seperti ketika menyaksikan langsung di lapangan. Ia mengakui hal itu karena layarnya kecil. Ratusan ribu Nahdliyin juga mengalami hal sama seperti Pak Dahlan.
Dari judulnya saja, ia sudah terkesan dengan tampilan Banser. Perhatiannya tertaut ke pasukan GP Ansor itu. Kepada Banser yang memenuhi lapangan utama. Mereka menjadi bagian pertunjukan. Melakukan koreografi dengan koreografer Denny Malik. Jumlah tepatnya ada 12 ribu banser.
Pak Dahlan juga terkesan melihat Menteri BUMN Erick Tohir yang berada bersama ribuan banser itu. Yang bertugas menyampaikan laporan panitia kepada Presiden Joko Widodo. Sebagai Banser bersertifikat. Termasuk memperhatikan kesalahan kecilnya saat menutup sambutan laporan panitia.
Disinggung juga tentang Ibu Megawati yang hadir di acara puncak Harlah 1 Abad NU ini. Tentang ekspresi wajahnya yang kepanasan. Padahal, yang kepanasan bukan hanya Ketum PDIP ini. Tapi juga presiden, wapres, mantan wapres, dan para kiai yang hadir.
Seperti Pak Dahlan, saya sama-sama tak berada di lokasi. Tapi punya cara pandang berbeda dengan beliau. Mengikuti detik-detik acara yang hanya akan berlangsung 100 tahun sekali itu, saya begitu terkesan dengan pidato Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf dan Orkestra Shalawat Asyghil.
Sungguh saya dibuat merinding oleh pidato Ketum PBNU dan penampilan 4 anak hebat yang melantunkan shalawat diiringi Twilite Orchestra dan Paduan Suara UIN Sunan Ampel ini.. Bahkan, perasaan itu tetap saja terulang setiap kali memutar video rekaman dua peristiwa itu.
Saya terpaksa mengusap air mata berkali-kali. Sambil memandang Kakbah dari ketinggian lantai 37 Swissotel Makkah, dini hari waktu setempat. Masuk dalam sepertiga malam yang dianggap paling istimewa untuk berdoa.
Ya, saya memang sedang di Haram saat warga NU lainnya memenuhi Sidoarjo. Sebab, saya tak mungkin membatalkan rencana mengantar umrah istri yang sudah dijadwal sejak dua tahun lalu. Saya hanya bisa ikut dalam beberapa rangkaian sebelumnya.
Gus Staquf –demikian sejumlah kawannya saat mahasiswa memanggil Ketum PBNU ini– menyampaikan pidato yang luar biasa. Singkat dengan pesan yang sangat jelas. Dengan gaya yang memukau.
Hari itu, saya menyaksikan sosok Gus Staquf bukan seperti yang saya kenal sejak puluhan tahun lalu. Hari itu saya menyaksikan Staquf baru. Staquf yang menggelagar. Staquf dengan power berlipat-lipat. Dengan rangkaian kata puitis, terpilih, dan intonasi yang tertata.
“Ini bukan suara ketum. Tapi suara Joko Tingkir. Sollu ala Muhammad,” kata Kiai Imaduddin Utsman, kiai muda asal Banten. “Betul sekali Kiai Imad. Saya baru menyadari hal itu,” timpal Ulil Abshar Abdalla, Ketua Lakspesdam PBNU yang juga menantu Ketua Musytasyar PBNU KH A Mustofa Bisri.
Joko Tingkir atau yang dikenal sebagai Raden Mas Karebet adalah keturunan Raja Majapahit, pendiri Kerajaan Pajang. Ia murid Sunan Kalijaga. Tentara Kerajaan Demak yang kemudian menghancurkan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Kerajaan yang menurut banyak sejarawan menganut ajaran Islam fundamentalis. Kerajaan khilafah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: