Menuju Kota Bebas Bising

Menuju Kota Bebas Bising

ilustrasi telinga-pixabay-https://jambiindependent.disway.id/

Akibatnya telinga rentan terhadap bahaya gangguan pendengaran akibat bising (trauma akustik). Untuk itu perlu disikapi secara bijak mendengar dengan cara aman dan menyehatkan.

Regulasi Terhadap Kebisingan Kota

Pada 2015 WHO telah mencanangkan program “Make Listening Safe’. Program itu bertujuan mewujudkan masyarakat dunia -dari segala usia- dapat menikmati dan mendengarkan dengan aman tanpa risiko terhadap pendengaran mereka.

Adapun pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran tentang kebutuhan akan cara mendengarkan yang aman. Juga menerapkan standar berbasis bukti yang dapat memfasilitasi perubahan perilaku di masyarakat.

Sementara itu, hingga kini Indonesia masih menggunakan KepMenLH Nomor 48/1996 yang menyatakan bahwa bunyi yang dianggap bising adalah di atas 65 dBA.

Padahal standar penerimaan bising melalui penyetaraan energi, menurut konsensus yang direkomendasikan oleh banyak negara, adalah 3dBA. Trading rule yang berarti setiap peningkatan 3dB intensitas pajanan yang diterima, maka waktu pajanan harus dikurangi setengahnya. 

Semenara itu, pasal 15 Undang-Undang Nomor 36/2010 tentang Kesehatan menyebutkan “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun sosial bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”.

Dr. Yan Edwin Bunde, Sp.THT KL dalam buku “Telingaku Masa Depanku” menyatakan bahwa semestinya, tanggung jawab ini juga termasuk melindungi masyarakat dari dampak buruk kebisingan kota. 

Lebih lanjut, dr Yan menyatakan, pemerintah Indonesia harus benar-benar mengimplementasikan sekaligus mengawasi serta menegakkan peraturan-peraturan terkait yang sudah ada beserta konsekuensinya tanpa pandang bulu.

Program nasional untuk mencegah gangguan ketulian akibat bising harus dicanangkan. Dilaksanakan secara terpadu. Penuh tanggung jawab, berkesinambungan, dan merata di seluruh pelosok negeri.

Pelayanan kesehatan primer harus memasukkan permasalahan bising ini ke dalam aspek pelayanannya. Tak hanya itu, pendidikan di sekolah juga perlu mengajarkan tentang bahaya bising pada anak didiknya.

Dan tentu, alat-alat transportasi atau kendaraan harus diukur tingkat kebisingan yang ditimbulkannya. Untuk melakukan itu semua tentunya ini sangat perlu melibatkan para pakar akustik dan ahli kesehatan masyarakat.

Masyarakat benar-benar membutuhkan regulasi yang nyata dan berpihak pada kesehatan mereka. Seperti misalnya memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap bising di ruang publik.

Namun tidak lupa diperlukan pula partisipasi aktif dari setiap anggota masyarakat untuk menyadari bahaya bising dan mengupayakan untuk mengendalikan kebisingan semaksimal mungkin. 

Namun masyarakat banyak belum paham dengan bahaya bising ini. Prediksi ke depan apa jadinya generasi penerus kita bila tidak serius dalam menanggulangi  bahaya bising ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: