Nasib Pedagang Tekstil Akibat Intoleransi Ekonomi
Pasar sandang Tegalgubug yang kini sepi. -Radar Cirebon TV-
PEDAGANG tekstil di desaku, Tegalgubug Arjawinangun, Cirebon, sedang lesu dan sepi. Pasar tekstil itu diberi nama Pasar Sandang Tegalgubug yang luasnya ratusan hektare. Dikenal sebagai pasar sandang terbesar se-Asia tingkat kabupaten. Terletak di pantura Jakarta-Jawa Tengah. Cukup setrategis. Terdapat pedagang kain tekstil mentah yang dijual secara grosir, pedagang baju jadi yang dijual grosir atau eceran.
Pasar Sandang Tegalgubug yang biasa ramai sekali pengunjung lintas provinsi, saat ini sepi. Bahkan di sebagian lokasi sangat sepi, yang dikatakan oleh pedagang, sepinya sudah seperti kuburan.
Selain berdampak langsung kepada para penjual, pada saat yang sama sepi pengunjung juga berdampak pada hilangnya penghasilan bagi tukang becak, buru panggul, kuli serabutan, pedagang makanan snack dan buah-buahan yang tersedia, tukang parkir yang terparkir di pinggir jalan tanpa ada Gerakan, angkot kosong, jualan mainan anak hampa rezeki. Semua terkena dampaknya.
Di Pasar Sandang Tegalgubug itu banyak sekali yang menggantungkan nasibnya untuk mengais rejeki. Bukan hanya dari Tegalgubug, melainkan dari seluruh Masyarakat wilayah Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Saya sering iseng bertanya ke tukang becak dari mana mereka, dan mereka menjawab ada yang dari Indramayu, ada yang dari Majalengka, dan ada yang dari wilayang Cirebon sendiri. Semua dengan tangan kosong, dengan lesu dan tubuh bergetar menahan lapar pulang dari pasar ke rumah. Dampaknya mereka tak bisa memberi kebutuhan makan dan sembako. Istri pun diuji kesabarannya. Solusi satu-satunya adalah berutang.
Lesunya ekonomi yang paling dikhawatirkan adalah meningkatnya angka pengangguran. Dengan meningkatnya angka pengangguran, akan meningkat pula kejahatan. Baru-baru ini di jalan pantura Indramayu telah terjadi bentrokan antardesa yang sebelumnya sudah kondusif tak ada tawuran.
Syahdan, gejala sepi pengunjung itu ternyata bukan hanya terjadi di Pasar Sandang Tegalgubug an sich, melainkan di seluruh daerah pusat-pusat penjual tekstil dan baju sandang dari Tanah Abang Jakarta, Pekalongan, Yogyakarta, Solo, Bandung, Karawang, Tanggerang, dan yang lainnya.
Bahkan pabrik-pabrik tekstil lokal di Karawang, Bandung, Tanggerang, dan Jakarta pun terancam gulung tikar dan nyaris bangkrut. Jadi dari pabrik, distributor besar dan grosiran, dan pedagang eceran mengalami kesulitan yang akut.
Saya bertanya pada para pedagang tekstil, bahwa fenomena sepinya pengunjung itu sudah berapa lama? Mereka menjawab bahwa fenomena ini sudah berlangsung lima bulan.
Menurut para pedagang, bahwa fenomena sepinya pasar berawal dari membanjirnya tekstil dari Tiongkok ke Indonesia dengan harga yang sangat murah, jauh di bawah harga pasar. Tahun-tahun yang memang barang-barang tekstil dari Tiongkok itu sudah beredar di pasaran, akan tetapi tidak sampai merusak harga pasar, lantaran harganya mengikuti harga pasar.
Akan tetapi lima bulan terakhir, barang-barang tekstil dari Tiongkok itu dipasarkan oleh distributor besar—dan mungkin juga distributor yang membeli langsung dari Tiongkok—dengan harga jauh lebih murah jauh di bawah harga pasar. Misalkan, barang-barang tekstil dari Tiongkok yang sebelumnya harga jual berada di angka Rp 16.000 per-yard (90 sentimeter) dengan barang yang sama dijual dengan harga jual di angkat Rp 11.000 per-yard. Selisih 5.000 per-yard.
Sehingga, para pedagang grosiran yang masih menyimpan berton-ton barang-barang tekstil yang seharga Rp 16.000 tak bisa menjual barangnya, lantaran ada barang yang sama dengan harga Rp 11.000 yang datang langsung dari Tiongkok.
Itu perbandingan harga dengan barang tekstil yang sama. Terlebih parah lagi jika dibandingkan dengan barang-barang tekstil produksi dalam negeri, maka akan jauh sekali perbedaan harganya. Sebab barang-barang tekstil produksi dalam negeri cenderung lebih mahal daripada barang-barang tekstil dari Tiongkok. Sehingga inilah yang mengakibatkan pabrik-pabrik tekstil dalam negeri yang ada di Bandung, Karawang, Bekasi, Tanggerang, dan Jakarta hampir mengalami kebangkrutan dan gulung tikar. Pada saat yang sama juga menggerus para pedagang grosir barang-barang tekstil produk dalam negeri.
Ada empat persoalan krusial yang mengakibatkan hal ini terjadi. Pertama, pemerintah sepertinya tidak punya regulasi tentang standarisasi harga baik barang dari dalam negeri maupun barang dari luar khususnya Tiongkok. Sehingga rakyat ditinggalkan dan dibiarkan bergulat sendiri. Kedua, liberalisasi pasar sebagai tuntutan zaman, sehingga pemerintah tak bisa membendung persaingan pasar yang sudah menggelobal lintas negara. Seharusnya dalam suasana pasar bebas ini pemerintah hadir sebagai regulator yang bisa mengatur agar tak ada yang dirugikan. Ketiga, agaknya jebakan batman hutang Tiongkok mengakibatkan pemerintah tidak power full menghadapi pasar dari barang-barang yang datang dari Tiongkok, khususnya tekstil. Keempat, persaingan dengan pasar bebas melalui kanal-kanal medsos, yang pemerintah juga harus hadir menentukan regulasinya.
Intoleransi ekonomi terjadi dan dirasakan oleh masyarakat, lantaran sepertinya pemerintah membiarkannya agar rakyat mengatasi masalah sendirian. Agaknya selama ini pemerintah getol mengatasi intoleransi antasnama agama, dan saat ini sudah saatnya pemerintah juga harus serius mengatasi persoalan Intoleransi ekonomi. Sebab rakyat wajib bayar pajak yang seharusnya memiliki hak-hak yang harus dipenuh oleh pemerintah dengan memberi perlindungan dan regulasi agar rakyat tidak menjadi korban ekonomi gelobal. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: