PKPNU, Institusi Fanatisme Struktural, Gak Bahaya Ta ?

PKPNU, Institusi Fanatisme Struktural, Gak Bahaya Ta ?

KH Imam Jazuli Lc--

Walaupun desakan terhadap Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari untuk segera mendirikan jam'iyah sangat kuat, keinginan umat muslim tersebut tidak segera dikabulkan. Di satu sisi, secara spiritual, Mbah Hasyim belum mendapatkan restu dari Mbah Khalil Bangkalan. Ilham langit belum turun.

Namun, di sisi lain, ormas-ormas Islam Indonesia sudah sangat banyak. Menciptakan ormas baru hanya akan menambah perpecahan umat muslim. Ini menjadi kekhawatiran utama Mbah Hasyim Asy'ari. Karena faktor sosial politik semacam itulah, ilhan langit yang turun kepada Mbah Khalil Bangkalan adalah perintah mendirikan jam'iyah yang mengayomi.

NU tidak saja untuk melawan ideologi transnasional Wahabi kala itu, yang terpusat di Saudi Arabia. NU di ranah domestik merangkul seluruh ormas yang pernah ada. Karena spirit persatuan tersebut, Mbah Hasyim dan putranya Mbah Wahid Hasyim secara bergantian menjadi Ketua Dewan Majelis Islam A'la Indonesia (M.I.A.I) lalu memimpin Masyumi.

Tidak mungkin tokoh pendiri NU menjadi Ketua di lembaga yang mengayomi seluruh ormas yang pernah ada, jika bukan karena spirit utama NU adalah Ukhuwah (Persaudaraan) dan Wihdah (Persatuan). Memang benar NU melawan ideologi transnasional, tetapi di lingkup domestik adalah mengupayakan ukhuwah dan wihdah.

PKPNU ini telah kehilangan konsep Ukhuwah Islamiah (Persaudaran Sesama Muslim) dan Wihdah Wathaniah (Persatuan Bangsa), dan jatuh ke dalam fanatisme buta yang dibingkai dalam bentuk kegiatan indoktrinasi melawan dan memusuhi ideologi yang berbeda sebagai musuh seperti transnasionalisme. Alangkah lebih baiknya jika transnasional dianggap kompetitor dalam dakwah Islamiah, tentu yang paling utama antar ormas adalah fastabiqul khiarat

Sungguh modul-modul PKPNU, telah kehilangan spirit persatuan dan persaudaraan dan seperti sengaja ditenggelamkan oleh wacana perlawanan terhadap sesama umat Islam, yang ditarik ke akar-akarnya, seperti pemikiran Ibnu Taymiyah, Ibnu Jauziyah, Abdul Wahab, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Padahal idealnya menjadi NU berarti menjadi orang yang mengayomi perbedaan, menghargai keragaman, bukan fanatik buta dan otoriter. Siapapun yang menunggangi NU dan menyusupkan ide-ide permusuhan di dalam proses kaderisasi, mereka telah mengkhianati spirit ukhuwah dan wihdah, identitas sejarah jm'iyyaah dan jamaah NU. Spirit yang  berabad-abad telah digaungkan oleh ulama-ulama Al-Azhar modern.

Demikianlah keteguhan Al-Azhar dalam berpegang pada Manhaj I’tidal (seimbang) dan benar-benar menjiwai Islam Wasathi (Moderat). Wasathiyah inilah manhaj yang sesungguhnya paling ampuh untuk menebarkan keindahan Islam dan keanggunan syariat yang di baliknya sarat hikmah dan maslahah dan yang kebaikannya kembali ke manusia itu sendiri. Inilah amanah NU dengan muqoddimah qonun asasi yang ditulis Hadratusyaikh Hasyim Asyari segaris dengan Al-Azhar. Wallahu a'lam bis shawab.(*)

*) Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: