Disorientasi Nakhoda PBNU
Dr KH Aguk Irawan MN--
Tidak heran apabila opini publik yang berkembang massif adalah politik balas budi Gus Yahya kepada Erick, yang gagal mencalonkan diri sebagai wakil presiden. Sementara kampanye PBNU mencitrakan Erick Thohir sudah cukup lama, sejak perayaan 1 Abad NU awal 2023. Lebih-lebih NU sudah terlanjur “banyak utang” kepada pemerintah, tepatnya dengan viralnya pemberitaan bahwa PBNU mendapatkan jatah izin tambang dari Jokowi.
Gus Yahya gagal mengantarkan Erick Thohir untuk menjadi wakil presiden siapapun. Satu-satunya jalan agar “utang” itu sedikit dilunasi adalah memberi tempat yang strategis bagi Erick Thohir di tubuh PBNU, yaitu posisi Ketua Lakpesdam—mengingat Erick Thohir satu gerbong dengan Jokowi dalam mendukung pasangan Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 nanti.
Penyimpangan “Aksi” atas Narasi Besar Fikih Peradaban PBNU
Mengubah Lakpesdam menjadi sekadar selevel dengan Bappenas pada hakikatnya adalah bentuk pengkorosian jati diri Lakpesdam itu sendiri. Kebijakan mensejajarkan Lakpesdam dengan Bappenas menyimpang jauh dari cita-cita ideal Fikih Peradaban. Sebab, Lakpesdam selama ini sudah ideal dan sejalan dengan hakikat Fikih Peradaban, dan tidak perlu didegradasi lagi.
Dalam bukunya yang berjudul Fiqhu al-Tahaddhur al-Islami, Abdul Majid Umar an-Najjar (2006:20) menjelaskan bahwa fikih peradaban itu adalah relasi antara manusia dengan manusia lainnya, juga antara manusia dengan alam tempat tinggalnya, dalam rangka menumbuh kembangkan nilai-nilai spiritual maupun material (al-muktasabat al-maddiah wa al-ma’nawiah). Mengubah spirit Lakpesdam seperti spirit Bappenas sama saja dengan mengurangi nilai spiritual (muktasabat ma’nawiah).
Idealnya, kerja peradaban dalam konteks pengembangan sumber daya santri adalah mencetak generasi berdaulat, bukan pengekor fanatis pasif (muhibbin). Sebaliknya, mencetak kader yang mampu menjadi “kepanjangan” tangan para guru, ustadz, kiai, dan alim ulama dalam rangka menyebarkan ilmu, dakwah Islamiah, dan kerja-kerja peradaban.
BACA JUGA:Jam'iyah NU Bukan Paguyuban
BACA JUGA:Zionisme, dari Korban ke Pelaku Genosida
Fikih Peradaban hanya akan berhasil apabila lulusan pesantren mampu memosisikan diri mereka sebagai subjek progresif, bukan objek pasif. Dalam urusan kebaikan, SDM santri (Nahdliyin) harus menjadi ‘fail‘ penggerak. Mereka bertanggung jawab untuk menjadi garda terdepan dalam mentransformasikan masyarakat ke arah yang lebih baik.
NU memiliki prinsip: jika ahli ilmu tidak dapat memberikan manfaat, maka keberadaan mereka di tengah masyarakat seperti orang bodoh, seperti duri di tengah bunga-bunga (Fauzan Alfas, Napak Tilas Menjelang Satu Abad Nahdlatul Ulama, Jilid 1, 2021: 21).
Untuk menjadi individu yang bermanfaat, maka jiwa kepemimpinan yang berdaulat, subjek yang aktif, bukan objek yang pasif, adalah prasyarat utamanya. Demikianlah cara untuk menyelamatkan gagasan Fikih Peradaban dari degradasi secara struktural. (*)
*) Pengasuh Pesantren Baitul Kilmah, pegiat literasi, warga NU biasa
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: