Jelang Debat Capres Kelima, Pakar Tagih Janji Paslon Soal Reformasi Agraria yang Masih Amburadul

Jelang Debat Capres Kelima, Pakar Tagih Janji Paslon Soal Reformasi Agraria yang Masih Amburadul

PK-HASA menggelar diskusi publik bertajuk Menagih Janji Capres Menegakkan Keadilan Agraria untuk Kesejahteraan jelang Debat Capres terakhir, Jumat 2 Februari 2024-Dok. PK-HASA-

JAKARTA, DISWAY.ID - Menjelang Debat Capres terakhir yang diselenggarakan 4 Februari 2024 mendatang, Pusat Kajian Hukum Agraria dan Sumber Daya Alam (PK-HASA) gelar diskusi publik bertajuk “Menagih Janji Capres Menegakkan Keadilan Agraria untuk Kesejahteraan". 

Sejumlah pakar dan pengamat permasalahan konflik agraria menyebut para paslon capres dan Cawapres perlu memperhatikan isu sosial ini. 

BACA JUGA:Gibran Dorong Ketersediaan Pupuk Murah dan Kelanjutan Reforma Agraria

BACA JUGA:Rumah Duka Mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang, Ferry Mursyidan Baldan Sudah Dipenuhi Pelayat

Pengamat hukum, Syaiful Bahari menyampaikan ketimpangan penguasaan agraria di Indonesia sejak masa kolonial Belanda sampai sekarang tidak berubah. Inilah yang menjadi akar kemiskinan di pedesaan dan sering terjadi konflik atas nama peralihan fungsi lahan. 

“Karena itu tema debat capres terakhir yang salah satunya mengenai kesejahteraan sosial sangat berhubungan erat dengan penyelesaian reforma agraria oleh para capres jika terpilih dalam pilpres 2024,” kata Syaiful Bahari dalam diskusi di Cik9 Building, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat 2 Februari 2024. 

Dalam studinya, Syaiful mengemukakan  ketidakadilan agraria ini sangat nyata di depan mata dan mematikan petani. Bagaimana tidak, 27,79 juta rumah tangga petani yang masuk kategori petani gurem sekitar 17,24 juta rumah tangga, artinya dari 10 rumah tangga petani 6 rumah tangga miskin.

BACA JUGA:Said Iqbal Ungkap 10 Kritikan Partai Buruh Reforma Agraria di Indonesia Saat Gelar Aksi di Istana

BACA JUGA:Hotman Paris Sindir Iqlimia Kim karena Tak Bisa Ucapkan Kata Menteri Agraria: Disebutnya 'Agagia'

“Sementara itu penguasaan petani terhadap lahan pertanian hanya 7 juta ha, padahal kebutuhan pangan dalam hal ini beras setiap tahun mencapai 32 juta ton. Jadi, hampir setiap tahun kita mengalami defisit beras, dan kini harga beras semakin mahal. Inilah akibat pemerintah tidak konsisten menjalankan reforma agraria, papar Syaiful. 

Senada dengan hal itu, pakar hukum agraria Aartje Tehupeiory mengungkapkan banyaknya konflik agraria yang jumlahnya semakin banyak tidak bisa lagi diatasi dengan peradilan biasa. Menurutnya, perlu kelembagaan khusus atau ad hoc yang khusus mengadili perkara agraria. 

“Oleh karena itu ke depan dibutuhkan pembentukan peradilan khusus atau Ad Hoc agraria atau pertanahan untuk menyelesaikan konflik atau sengketa agraria,” jelas Aartje 

Aartje menambahkan, berdasarkan penelitian PK-HASA menyatakan bahwa pemerintah kurang baik dalam melaksanakan reforma agraria. Terbukti, makij banyaknya permasalahan terkait agraria yang sering terjadi di masyarakat bahkan berujung pidana menyebabkan par petani atau penggarap lahan makin menjerit. 

BACA JUGA:Soroti Investasi di Rempang, NCW: Suara Rakyat Indonesia Bukan Lagi Suara Tuhan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: