Guru Wajib Tahu, Ternyata Beri PR untuk Siswa Sudah Ketinggalan Zaman

Guru Wajib Tahu, Ternyata Beri PR untuk Siswa Sudah Ketinggalan Zaman

PR untuk siswa sudah ketinggalan zaman-pixabay-

JAKARTA, DISWAY.ID – Biasanya, saat libur panjang, siswa diberikan pekerjaan rumah atau PR oleh guru.

Ternyata metode itu sudah ketinggalan zaman.

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji mengungkapkan bahwa saat ini sudah bukan era pemberian tugas atau pekerjaan rumah (PR) pada siswa.

Terlebih pada masa libur panjang ini, siswa juga sudah tidak perlu dituntut untuk mengingat atau menghafal kembali materi pelajaran.

BACA JUGA:Link dan Tata Cara Daftar Ulang Bagi Siswa Lolos SNBT 2024 di Universitas Indonesia, Camaba Jangan Kelewat!

Pasalnya, saat ini perkembangan teknologi menghadirkan informasi dengan mudah, melalui Google, AI ChatGPT, hingga Copilot.

"Tantangan di era masyarakat 5.0 itu justru anak-anak kita dituntut untuk berinovasi," jelas Indra pada Disway, Sabtu, 15 Juni 2024.

Dalam hal ini, anak perlu didorong untuk menjadi seorang pencipta yang bisa menemukan solusi baru.

"Jadi mereka menciptakan sesuatu, berinovasi, menemukan solusi, dan itu bisa distimulasi," ujarnya.

BACA JUGA:Rilis Daftar The Global 2000, Forbes Kembali Nobatkan BRI Sebagai Perusahaan Terbesar di Indonesia

Dalam hal ini, anak bisa didorong untuk melakukan project base learning dengan menggabungkan antara science, technology, engineering, art, dan mathematic (STEAM).

Sehingga, anak diharapkan dapat berpikir pada level C6 berdasarkan teori Revisi Taksonomi Bloom, yakni kemampuan mengkreasi (creating).

"Eranya sekarang adalah inovasi. Kalau kita menggunakan Revisi Taksonomi Bloom, mereka harus mampu berpikir di level C6."

BACA JUGA:400 Mahasiswa Ikut Beasiswa Sleman Pintar, Utamakan Peserta Tak Mampu

Indra menekankan agar orang tua bisa menemukan topik yang sesuai dengan passion anak sehingga anak tidak akan merasa terpaksa dan dengan antusias terjun di bidang tersebut.

"Dalam berinovasi, pasti (harus) sesuai dengan passion dia. Jadi tidak bisa dipaksakan mereka berinovasi yang bukan di passionnya. Tapi kalau itu di passion dia, dia akan mau terjun di bidang itu," ujarnya.

Adapun contoh metode STEAM ini seperti belajar coding hingga anak bisa membuat game sederhana sendiri.

Ia menambahkan, anak juga bisa didorong untuk membuat konten digital yang membahas tentang permasalahan di sekitar, seperti perubahan iklim, masalah-masalah di Jakarta, kemacetan di Jakarta, serta dampak IKN.

BACA JUGA:Ini Alasan 2 Mahasiswa Ajukan Uji Materiil UU Batas Usia Kepala Daerah ke MK

"Konten-konten yang seperti itu justru malah mendorong anak berkreasi. Jadi konten kreator pun dengan topik yang membumi, kontekstual," tuturnya.

Ia pun mencontohkan bagaimana inovasi ini berhasil dilakukan oleh kakak beradik di Bali yang mencetuskan program Bye-Bye Plastic Bag. 

Contoh program Bye--Bye Plastic Bag yang dibuat oleh Melati dan Isabel, itu sesuatu yang sederhana.

Dan itu diawali dengan guru-guru yang bercerita tentang tokoh-tokoh dunia yang membuat perubahan. Itu menginspirasi mereka untuk berbuat sesuatu terhadap Bali, tempat mereka tinggal. Dan mereka pada waktu itu sudah melihat kalau bali itu menjadi pulau sampah," katanya.

Kakak-beradik tersebut lantas berinovasi untuk menemukan solusi atas permasalahan sampah di Bali. Sehingga saat ini, ada larangan penggunaan plastik belanja.

BACA JUGA:Jadwal dan Cara Daftar KIP Kuliah 2024 untuk Mahasiswa PTN-PTS, Cek di Sini!

"Jadi tidak harus selalu yang berat, tapi itu (hasilnya) nyata."

Indra menegaskan lagi bahwa inovasi dan penerapan pengetahuan ini lebih dibutuhkan dibanding memberi anak tugas atau PR hafalan.

"Memang eranya bukan model PR ya, dalam arti drilling untuk mengerjakan soal. Itu bukan eranya lagi," tandasnya.

 

 

 

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads