Jelang Pergantian Presiden, INDEF Ingatkan Hal Ini dan PR Besar untuk Presiden Terpilih!

Jelang Pergantian Presiden, INDEF Ingatkan Hal Ini dan PR Besar untuk Presiden Terpilih!

Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti-Dok. INDEF-

JAKARTA, DISWAY.ID - Bergantinya berbagai kebijakan seiring dengan pergantian Presiden tidak serta merta menghapus berbagai persoalan yang masih belum dapat terselesaikan.

Persoalan-persoalan seperti penurunan kualitas pertumbuhan ekonomi dinilai akan selalu menjadi hal yang akan terus dihadapi dan dipikul oleh setiap Presiden.

BACA JUGA:Heri INDEF Ingatkan Judi Online Buruk Bagi Ketahanan Ekonomi Keluarga

BACA JUGA:Tiongkok Kuasai Pasar Mobil Listrik Indonesia, Ekonom INDEF: Lebih Advanced dan Tidak Main-Main

Menurut Direktur Eksekutif INDEF Esther Sri Astuti, konsumsi akan selalu menjadi akan selalu menjadi tulang punggung ekonomi, terutama ekonomi negara.

Persoalan inilah yang nantinya akan selalu dihadapi oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto.

"Mesin-mesin pertumbuhan ekonomi tidak hanya itu, bisa investasi, ekspor, belanja pemerintah, pajak, dan transfer daerah," Ujar Esther saat menghadiri acara Seminar Nasional dan Kajian Tengah Tahun INDEF 2024: Presiden Baru, Persoalan Lama di Jakarta pada Selasa 25 Juni 2024. 

Selain itu, daya beli yang terus turun ditengah-tengah kebijakan moneter yang ketat dan nilai tukar Rupiah yang melemah hingga ke level Rp16.400-an akan menjadi sesuatu yang harus ditangani oleh Presiden Terpilih. Terlebih, Esther menambahkan, Prabowo Subianto juga berencana menargetkan rasio pajak hingga menjadi 23%. 

BACA JUGA:Peringatan Ekonom INDEF: Begini Dampak Nilai Tukar Rupiah Melemah Terhadap Proyek Strategi Nasional

"Generate income pajak harus ditingkatkan, itu yang harus dilihat lagi," imbuh Esther.

Fleksibilitas fiskal yang menurun dengan rasio pajak yang hanya di kisaran 8%-10% terhadap produk domestik bruto (PDB), dan rasio utang mencapai 38% terhadap PDB juga kini menjadi hal yang harus dihadapi dunia perekonomian Indonesia. Terlebih lagi, kebijakan penaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) disinyalir akan membuat ruang fiskal menjadi semakin sempit.

"Mau tidak mau generate more income, revenue state harus terus diupayakan," tutup Esther

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait