Alasan Menkes Enggan Revisi PP Kesehatan Tentang Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi Untuk Usia Sekolah dan Remaja Meskipun Jadi Polemik

Alasan Menkes Enggan Revisi PP Kesehatan Tentang Pasal Penyediaan Alat Kontrasepsi Untuk Usia Sekolah dan Remaja Meskipun Jadi Polemik

Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyadari banyaknya desakan untuk merevisi PP Nomor 28 Tahun 2024, terutama pada Pasal 103 ayat (4) huruf e tentang penyediaan alat kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja.-Annisa Zahro-

JAKARTA, DISWAY.ID - Menteri Kesehatan (Menkes) RI Budi Gunadi Sadikin menyadari banyaknya desakan untuk merevisi PP Nomor 28 Tahun 2024, terutama pada Pasal 103 ayat (4) huruf e tentang penyediaan alat kontrasepsi untuk usia sekolah dan remaja.

Pasal tersebut menjadi perhatian masyarakat karena dikhawatirkan akan menjadi dalih pelegalan seks bebas bagi remaja.

Kendati demikian, Budi menegaskan bahwa kebijakan penyediaan alat kontrasepsi ini hanya ditujukan kepada seorang yang sudah menikah di bawah 20 tahun.

BACA JUGA:Sindir Anies Baswedan, Prabowo Bilang Jangan Lagi Sebut Angka 11 dan Omon-omon

BACA JUGA:Resto di Terminal 3 Bandara Soetta Kebakaran, Angkasa Pura Selidiki Penyebabnya

Hal ini karena menikah muda di bawah 20 tahun masih menjadi budaya yang melekat di masyarakat.

Sedangkan wanita yang hamil di bawah usia 20 tahun memiliki risiko kesehatan tinggi, baik bagi keselamatan ibu maupun anak.

"Dari sisi kesehatan, kalau ada perempuan yang hamil di bawah usia 20 tahun itu sudah terbukti bahwa mortality rate untuk anaknya, mortality rate untuk ibunya, dan kemungkinan stuntingnya sangat tinggi," kata Budi di depan jajaran Komisi IX DPR RI, 29 Agustus 2024.

BACA JUGA:Indonesia Siapkan 1000 Vaksin Mpox Buatan Jerman dan Jepang

BACA JUGA:Karyawan KAI Diberi Fasilitas Rumah Singgah di Stasiun Terpencil, Memudahkan saat Pulang Malam

Sehingga, alat kontrasepsi ini diberikan sebagai alternatif supaya mereka tetap bisa menikah di bawah 20 tahun, tetapi menunda kehamilan hingga minimal 20 tahun untuk hamil dan melahirkan.

Adapun penggunaan kata 'remaja' yang menimbulkan mispersepsi ini terjadi karena adanya tumpang tindih antara UU Perkawinan.

"Memang dalam penulisannya ada sedikit glitch dari sisi komunikasi dan pencatatan sehingga ditulisannya keluar seperti itu. Karena ini ada kaitannya dengan Undang-Undang Perkawinan, di mana ditulis bahwa diwajibkan anak-anak Indonesia menikah di atas 19 tahun," jelasnya.

"Sehingga kalau kita memakai kata remaja itu otomatis di bawah 18 tahun, itu seakan-akan tidak selaras dengan UU Perkawinan ini," bebernya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads