Ketum PEDPHI Prof Dr H Abdul Chair Sebut Perubahan RUU KUHAP Urgent karena Hal Ini
Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEPDHI), Prof Dr H Abdul Chair Ramadhan SH MH--
Dari saksi mahkota lah bisa ditentukan siapa pelaku (pleger), siapa pihak yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus).
BACA JUGA:Draft RKUHAP Baru: Perbaiki Aturan Restorative Justice hingga Peran Advokat
"Selama ini ada kecenderungan tindakan penahanan sangat subjektif dan berpotensi untuk diselewengkan," kata Abdul Chair.
Sementara dalam RUU KUHAP nanti ada parameter yang jelas. Sebut saja dalam Pasal 93 Ayat (5), yakni dengan melihat kondisi-kondisi tertentu seperti: mengabaikan panggilan penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan; tidak bekerjasama dalam pemeriksaan; menghambat proses pemeriksaan; dan mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.
"Jadi, peranan dari hukum pada ujungnya adalah kemanfaatan bagi kepentingan hukum itu sendiri. RUU KUHAP mengakomodir kepentingan hukum, utamanya kepentingan hukum individu dalam hal penyelesaian perkara dengan jalan pemulihan guna perdamaian," ujarnya.
Dia mengungkapkan, penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) juga diatur dalam RUU KUHAP baru ini.
Jika selama ini restorative justice hanya dilakukan saat penyidikan, nantinya pengaturan keadilan restoratif tak lagi diatur secara parsial dalam peraturan masing-masing lembaga penegak hukum di setiap jenjang peradilan pidana.
"Kehadiran penyelesaian perkara dengan adanya pemulihan jadi dasar keberlakuan keadilan restoratif sejalan dengan prinsip ultimum remedium. Penggunaan sanksi pidana seharusnya jadi ‘langkah terakhir’ (last resort)." tegasnya.
Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) Pengganti Praperadilan
Meski begitu, Ketua Umum PEPDHI, Prof Dr Abdul Chair Ramadhan SH, MH juga mempertanyakan soal usulan Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP) untuk menggantikan praperadilan dalam RUU KUHAP.
Menurutnyam HPP akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Jika penentuan sah atau tidaknya penetapan status tersangka dan tindakan penyidik seperti penahanan, penyitaan dan lain sebagainya oleh HPP, hal itu bertentangan dengan prinsip diferensiasi fungsional dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan.
Paradigma pemenuhan unsur-unsur delik oleh penyidik berbeda dengan paradigma pembuktian yang dilakukan oleh hakim saat proses persidangan.
Menghadirkan HPP dengan kewenangan tersebut, kata Abdul Chair sangat tidak proporsional karena masing-masing instansi dalam struktur hukum telah dibedakan. Keduanya memiliki fungsi dan kewenangan tersendiri.
Prinsip diferensiasi fungsional pada dasarnya adalah membedakan dan bukan mengkompromikan, apalagi salah satunya (in casu HPP) dapat menegaskan fungsi dan kewenangan lembaga lain (in casu penyidik).
"Dalam penilaian status tersangka dan tindakan penahanan, bukanlah persoalan siapa yang paling berhak menentukan, akan tetapi kejelasan dan pengetatan persyaratan jadi hal utama. Jadi bukan dilihat siapa aktor penegak hukumnya, akan tetapi bagaimana sistem dan mekanisme pada institusi penegak hukum masing-masing," paparnya.
Abdul Chair menegaskan, jika HPP masuk ke hulu penegakan hukum dengan wewenang menilai atas fungsi dan kewenangan penyidikan tersebut, maka seakan “menyamakan sesuatu yang berbeda” dan hal itu sangat tidak adil dan sekaligus tidak benar.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
