Haji dan Pesan Membangun Ekonomi Kerakyatan

Ibadah haji di tanah suci Mekkah, Saudi Arabia.-Istimewa-
IBADAH Haji sebuah ritual agama yang berusia ribuan tahun sejak Ibrahim alaihissalam, diwariskan dari generasi ke generasi untuk membawa pesan universal, yang terangkum dalam satu khutbah oleh Rasulullah SAW pada saat menunaikan haji wada’.
Umat muslim yang setiap tahun meninggalkan kampung halaman untuk berkumpul di tempat yang sama, datang dari seluruh penjuru dunia, dengan latar belakang budaya, bahasa, warna kulit dan identitas nasional berbeda. Di tanah suci mereka memiliki satu niat, satu tujuan dan satu platform berupa kain ihram.
BACA JUGA:Historisitas Haji antara Ritual, Festival Seni dan Motif Ekonomi
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam hanya mewarisi dan menyempurnakan ibadah yang telah diajarkan para nabi dan rasul sebelum beliau. Ibadah haji yang dilestarikan selama ribuan tahun tidak pernah berubah baik nilai maupun ritualnya.
Setiap kali penyimpangan-penyimpangan mulai mencemari kesucian haji, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus seorang rasul untuk menghilangkan penyimpangan dan mengembalikan lagi pada ajaran yang sesungguhnya, yang telah disampaikan para rasul sebelumya.
Rasulullah Muhammad Ibnu Abdillah diutus untuk memurnikan kembali spirit dan ritual haji, yang sempat dicemari tradisi-tradisi Jahiliah. Nabiyullah Muhammad menyampaikan pada saat haji wada’, alaa kullu syai-in min amril Jahiliah tahta qadamayya mawdhu’.
Segala sesuatu yang pernah menjadi bagian tradisi Jahiliah kini telah jatuh ke bawah dua telapak kakiku. Dalam Al Majaazaat Al Nabawiyah, ungkapan ini sebuah sindiran segala hukum dan syariat terkait ibadah haji pada masa Jahiliah tidak sempurna dan menyimpang (Syarif Al-Radhi, 1910: 102).
Al Qur’an mengabadikan melalui surat Al Anfal ayat 35 bagaimana penyimpangan ritual haji selama masa Jahiliah, seperti bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.
Hadits Imam Al-Bukhari, no. 1517, juga ikut mengabadikan bagaimana Rasulullah melarang orang-orang kafir musyrik bertawaf dengan tubuh telanjang. Kedatangan Islam tidak sekedar memurnikan tauhid dari penyimpangan tetapi juga lebih memanusiakan manusia, karena sungguh tidak pantas manusia menyembah Tuhannya dengan telanjang, bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan.
BACA JUGA:PKB dan Politik Kepedulian Bangsa
Pemurnian tauhid memang menjadi visi besar risalah dan nubuwah Muhammad shalallahu alaihi wasallam, tetapi tauhid juga landasan membangun nilai kemanusiaan dan peradaban, fisik maupun spiritual.
Pada Haji Wada’, Rasulullah bersabda, fa inna dimaa-akum wa amwaa lakum wa a’raadhakum ‘alaikum haramun kahurmati yawmikum haadza fi biladikum haadza fi syahrikum haadza. Keselamatan jiwa kalian, harta benda dan kehormatan kalian, harus dihormati sebagaimana kehormatan hari ini, di negeri ini, di bulan ini. Para ulama pun menyebut pesan ini sebagai dalil Maqaashid Al Khamsah.
Maqaashid Al-Khamsah juga disebut Maqaashid Syariiah_ adalah lima kewajiban dasar beragama: bertuhan (Hifzhud Diin), terjaminnya keselamatan jiwa (Hifzhun Nafs), memiliki sumber pendapatan yang layak dan sejahtera (Hifzhul Maal), berketurunan (Hifzhun Nasl), dan berpendidikan (Hifzhul ‘Aql).
Ulama lain menambahkan satu pokok, yang disebut sebagai hidup bermartabat (Hifzhul ‘Irdh). Lima atau enam pokok ini adalah tujuan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sehingga tindakan kriminal apapun yang bisa merugikan keselamatan jiwa, harta benda, dan kehormatan orang lain melanggar syariat Islam.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: