Haji dan Pesan Membangun Ekonomi Kerakyatan
Ibadah haji di tanah suci Mekkah, Saudi Arabia.-Istimewa-
BACA JUGA:Jalan Islah Polemik Nasab: Kembali ke Ikatan Kultural Kebangsaan dan Program Kebhinnekaan
Untuk mendapatkan sumber pendapatan yang layak, sehingga mampu membawa kesejahteraan kepada orang lain, khususnya keluarga sendiri, tetangga dan masyarakat, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sangat menekankan sistem politik ekonomi yang tidak ribawi. Pesan beliau pada haji Wlwada’, wa ribaal Jahiliyyah mawdhuu’.
Seluruh praktik riba di masa Jahiliah juga dihapuskan. Dalam Khuthabur Rasuul Mawdhuu’atuha wa Balaaghatuha, riba bukan semata-mata sistem ekonomi yang mengejar akumulasi kapital dan profit, tetapi segala jenis lembaga keuangan yang mengejar profit dengan cara kapitalistik, tidak humanis (Ammar Sa’dullah Ridha Al-Na’imi, 2023:135).
Islam tidak pernah menginginkan akumulasi kapital yang menumpuk pada segelintir orang, sehingga setiap jenis hukuman yang diberlakukan pada orang-orang yang melanggar syariat Islam kerap kali bernuansa distribusi kekayaan, seperti memberikan makanan orang-orang miskin bagi siapapun yang tidak mampu menunaikan puasa Ramadan, serta menyembelih binatang (Dam) bagi jemaah haji yang melanggar larangan haji.
Belum lagi ajaran wajib zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Ditambah lagi kesunnahan bersedekah, berinfaq, dan berwakaf.
Aturan wajib dan Sunnah ini demi distribusi kekayaan secara merata sehingga setiap individu merasakan hidup yang sama layaknya dengan individu lain.
Distribusi kesejahteraan dalam Islam dimulai dari tingkat paling fundamental, unit paling penting dalam membangun masyarakat, yaitu kehidupan keluarga. Karenanya pada Haji Wada’ itu Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, fattaqullaaha fin nisaa-i fa innakum akhadztumuuhunna bi amaanatillaahi was tahlaltum furuujahunna bi kalimatillaahi. Berhati-hatilah dalam bergaul dengan istri-istri kalian, karena kalian meminang mereka sebagai amanat Tuhan, dan kalian menghalalkan mereka menggunakan kalimat Tuhan. Karenanya, Rasulullah menekankan, berdosalah seseorang yang menyia-nyiakan istri yang menjadi tanggung jawabnya (HR. Abu Dawud, 1442).
BACA JUGA:Mencari Jalan Islah bagi Ba’alawi dan PWI Laskar Sabilillah
Kehidupan keluarga masyarakat muslim menjadi langkah penentu segala upaya membangun peradaban suatu bangsa, termasuk kehidupan bernegara.
Ketika fondasi kehidupan keluarga keropos, pilar berbangsa dan bernegara goyah. Membangun kehidupan keluarga yang kuat, dimana perempuan dihormati dan dimuliakan sebagai amanah Tuhan, adalah langkah awal membangun masyarakat dan negara.
Bisa juga setiap kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lahir dari kehidupan keluarga yang tidak ideal. Melalui Maqaashid Syariiah, Islam hadir untuk membangun peradaban manusia melalui unit terkecil, yaitu keluarga yang ideal.
Sekali lagi, cita-cita Islam membangun peradaban manusia tercermin dalam ibadah haji, yang membawa pesan-pesan mendalam tentang pentingnya kehidupan tanpa kriminalitas yang dapat mengancam keselamatan jiwa, hukum ditegakkan dengan adil, harta benda dan kehormatan manusia dijunjung tinggi, dan kehidupan keluarga yang harmonis sebagai fondasi bermasyarakat.
Pesan-pesan universal dari haji ini butuh suatu kekuatan besar untuk mengimplementasikannya, salah satunya melalui peran negara.
Negara perlu hadir membawa jaminan keselamatan bagi setiap individu, kesejahteraan lahir maupun batin, dan harkat martabat yang disegani dunia. Tanpa negara, tidak mudah mewujudkan pesan-pesan moral ibadah haji ini.(*)
* Aguk Irawan MN adalah Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Bantul, Dosen STIPRAM dan Sekretaris PW IPHI DIY.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
