WALHI, Wahabi Lingkungan dan Hudud
Ilustrasi ESDM melakukan sidak pengelolaan tambang di Pulau Gag, Papua Barat Daya.-ESDM-
Maka Gus Ulil tidak bisa tidak, harus membaca dimensi sosiologis dan psikologis korban yang merasakan manfaat advokasi WALHI. Jika masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat dari program-program WALHI, atau kehadiran WALHI menciptakan ketidaknyaman psikologis masyarakat, maka Gus Ulil sudah tepat dengan tesisnya, ‘WALHI Wahabi Lingkungan’.
Mengapa pembacaan metodologis saja tidak cukup? Jawabannya karena teks tidak saja memiliki makna gramatikal yang tunggal. Tetapi, teks juga menyimpan dampak psikologis (Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher, 1998: 27).
BACA JUGA:PKB dan Politik Kepedulian Bangsa
Kerena teks tidak bermakna tunggal, maka WALHI dan Gus Ulil sama-sama perlu keluar dari paradigma masing-masing. Keluar dari lingkungan yang sempit untuk menemukan panorama sosial yang lebih kompleks. Hanya dengan cara keluar dari subjektifitas, objektifitas dapat ditemukan.
Pencarian objektifitas harus dilakukan dengan nalar rasional. Objektifitas terdapat dalam rasionalitas. Tanpa keluar dari batas-batas subjektif masing-masing, WALHI dan Gus Ulil hanya akan terjebak dalam pengetahuan apriori (Milton K. Munitz, Contemporery Analitic Philosopy, 1981: 40).
Upaya keluar dari pengetahuan apriori—dengan saling mengenal dan memahami posisi masing-masing pihak—akan membuahkan semacam pemahaman tentang ‘batasan’ (Hudūd). Ada Hudūd yang tidak bisa dilewati oleh aktivis lingkungan maupun oleh Gus Ulil yang pro tambang.
Pengetahuan tentang Hudūd ini adalah pengetahuan yang harus bersifat aposteriori, rasional, berdasarkan data empiris. Oleh karenanya, WALHI sebagai Wahabi Lingkungan atau tidak, hanya ketika konsep dan kerangka Hudūd ini sudah jelas. Kejelasan tidak cukup bersifat metodologis, tetapi juga sosiologis-psikologis.
Untuk itu, perlu pemeriksaan ulang. Lieven Boeve mengatakan bahwa sejarah dan kebenaran teologis harus selalu diperiksa ulang dan dilakukan rekontektualisasi, hingga betul-betul menjadi lebih terpercaya (The Particularity of Religious Truth Claims: How to Deal With It In A So-Called Post-Modern Context, 2003: 193).
BACA JUGA:Krisis Profesionalisme dalam Sistem Kesehatan: Saat Suara Dokter Dibungkam
Di sini, penulis coba untuk menghadirkan satu fakta empiris yang viral belakangan ini, bahwa kerusakan alam pulau Raja Ampat, Papua. Dalam konteks penambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat, peran WALHI ataupun aktivis lingkungan pada umumnya sangat dibutuhkan.
Keindahan alam Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai destinasi wisata, kini telah rusak parah. Masyarakat Raja Ampat mengajukan protes, karena telah dirugikan. Dalam kasus ini, peran WALHI dan aktivis lingkungan sedang dibutuhkan. Kerusakan lingkungan pulau Raja Ampat bisa disebut melampaui Hudūd.
Sebagai pulau kecil, Pulau Gag seharusnya bebas dari semua kegiatan ekstraktif yang menyimpan daya rusak tinggi (merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023). Alih-alih, dengan luas hanya sekitar 6.030,53 hektar, luas konsesi GN lebih dari 13.136 hektar. Itu berarti aktivitas tambang tidak hanya berpotensi ‘menghabiskan’ daratan pulau, tetapi juga lautnya.
Penambangan mineral di pulau kecil telah nyata dan berdasarkan data empiris dapat menimbulkan kerusakan yang tidak bisa pulih (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antargenerasi.
Selain itu, menurut Torianus Kalami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) aktifitas penambangan di pulau Gag telah mengabaikan dampak lingkungan dan hak-hak masyarakat adat, serta mengabaikan proses transparansi di awal yang seharusnya melibatkan masyarakat secara substansial.
Dengan begitu, WALHI dengan pengalamannya telah memberikan data empiris dan Gus Ulil dengan hipotesisnya, Wahabi Lingkungan, harus diperiksa ulang termanya. Apalagi dalam kaidah usuhul disebutkan bahwa dar’ul mafasid muqaddamun 'ala jalbil mashalih (menolak sesuatu yang lebih besar negatifnya lebih diutamakan daripada menghadirkan positif).
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
