bannerdiswayaward

WALHI, Wahabi Lingkungan dan Hudud

WALHI, Wahabi Lingkungan dan Hudud

Ilustrasi ESDM melakukan sidak pengelolaan tambang di Pulau Gag, Papua Barat Daya.-ESDM-

KETUA PBNU Gus Ulil Abshar Abdalla kembali memantik dialog, setelah menyebut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sebagai “wahabi Lingkungan”. Bagaimana terminologi ini bisa dipahami? Mengapa harus diwacanakan? Dan apa dampaknya? Jawabannya tidak sederhana.

Term “wahabi lingkungan” mengandung dua kemungkinan. Pertama, apabila yang dimaksud oleh Gus Ulil sebagai aktivisme ekstrim, menolak pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pembangunan, hal ini mungkin bisa dibenarkan. 

Sebab, secara ontologis, dalam filsafat Islam, alam lingkungan ini adalah anugerah Tuhan. Ditundukkan kepada manusia untuk dikelola dan dimakmurkan. Proses manusia mengelola sumber daya alam telah berusia ribuan tahun dalam lintasan sejarah. 

BACA JUGA:Lima Prestasi Penyelenggaraan Ibadah Haji 2025 dan Sedikit Catatan Evaluatif

Babilonia membangun kota gantung dan Mesir membangun piramida. Peradaban membutuhkan penggunaan SDA, seperti batu-batu gunung. Setelah mengenal teknologi tambang, sejarah mencatat bagaimana manusia mengekstrak biji besi untuk peralatan perang, untuk bangunan rumah maupun kepentingan sehari-hari. 

Jika Wahabi Lingkungan berarti mereka yang secara apriori menolak penggunaan SDA atas nama apapun, pemikiran Gus Ulil bernilai positif. Sebab, manusia diberi tugas sebagai khalifah Tuhan di muka bumi, untuk memanfaatkan SDA dengan baik dan membangun peradaban.

Namun sebaliknya, dan ini kedua,  apabila maksud Wahabi Lingkungan tersebut adalah pembenaran filosofis terhadap tindakan eksploitasi SDA dan deforestasi yang menyebabkan benca alam, seperti banjir dan tanah longsor, maka terma wahabi lingkungan perlu dievaluasi kritis. Sebab semua kitab suci sudah jelas melarang manusia membuat kerusakan di muka bumi.

Dengan begitu, menolak sama sekali pemanfaatan SDA dan mendukung sepenuhnya eksploitasi merupakan cara-cara berpikir yang ekstrim dan tidak bisa dibenarkan. Dua kutub ekstrimisme ini secara ontologis tidak relevan dengan tugas dan fungsi manusia.

Di sini, al-Qur’an sering kali melarang ekstrimisme apapun dengan menggunakan kata “al-baghyu”, berlebihan. Perbuatan yang melampaui batas tidak disukai oleh Tuhan. Term “wahabi lingkungan” untuk WALHI dan aktivis lingkungan akan berubah menjadi ‘al-Baghyu’ apabila ditujukan untuk membenarkan eksploitasi.

BACA JUGA:Haji dan Pesan Membangun Ekonomi Kerakyatan

Dalam membaca persoalan lingkungan ini, mungkin kita perlu meminjam kacamata Prof. KH. Shofiyullah Muzammil, yang baru kemarin dikukuhkan sebagai guru besar, dengan memperkenalkan Qirā`ah Mu’āshirah fil Ahkām (pembacaan kontemporer terhadap hukum). Di sini menurutmya, hukum harus dibaca melalui tiga dimensi; metodologis, sosiologis dan psikologis.

Maka mengenai terma WALHI yang disebut sebagai Wahabi Lingkungan, Gus Ulil rasanya belum cukup jika hanya membaca dari sisi metodologis saja. WALHI mirip Wahabi atau tidak, juga harus mempertimbangkan aspek lainnya, yaitu sosiologis dan psikologis. 

Selama ini, WALHI selalu berkonflik dengan penguasa dan pengusaha karena alasan perampasan lahan, deforestasi, dan alih fungsi lahan. Ketika penguasa dan pengusaha menggunakan kekerasan, termasuk konflik dengan oligarki tambang di pulau Gag Raja Ampat, WALHI turun tangan untuk memberikan advokasi.

Atas nama perampasan tanah oleh korporasi, deforestasi dan dampak perubahan iklim, WALHI berperan dalam advokasi, pendampingan masyarakat, dan melaporkan pelanggaran lingkungan kepada pihak berwenang.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads