Sekolah Kedinasan, Ketidakpastian Anggaran Pendidikan dan Jawaban dari UIN Sunan Kalijaga
Kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.-UIN Sunan Kalijaga-
PADA Februari 2024, CNBC Indonesia memberitakan ada total 49 sekolah kedinasan, dengan rincian: 18 sekolah dengan Status Ikatan Dinas, 21 sekolah dengan Status Ikatan Dinas di bawah Kementerian Perhubungan, dan 10 sekolah dengan Status Non-Ikatan Dinas.
Angka tersebut berbanding terbalik dengan jumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di bawah Kemenristekdikti. Data Badan Pusat Statistik (BPS), yang diperbaharui pada 19 Februari 2025, menunjukkan ada total 2.937 PT, dengan rincian: 125 PTN dan 2.812 PTS.
Bahkan, dibandingkan jumlah PTN dan PTS di bawah Kementerian Agama (Kemenag), jumlah sekolah kedinasan masih jauh lebih sedikit. Data BPS, yang diperbaharui pada 22 Februari 2024, menunjukkan ada total 964 PT, dengan rincian: 76 PTN dan 897 PTS di bawah Kemenag.
BACA JUGA:Anggaran Pendidikan 20 Persen Tak Berbanding Lurus dengan Mutu, Ini Temuan Doktor Uninus
BACA JUGA:Presiden Menolak Menandatangani Seragam, Memilih Mengamankan Masa Depan
Masalah utamanya bukan saja terletak pada jumlah sekolah kedinasan yang kecil, tetapi pada anggaran pendidikannya yang besar. Pada tahun 2024, sekolah kedinasan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 104 triliun. Sedangkan Kemenristekdikti hanya mendapat Rp. 98 triliun, dan Kemenag lebih kecil lagi, yaitu Rp. 62 triliun.
Lebih ironis lagi, dengan alokasi yang sudah kecil, Kemenristekdikti dan Kemenag harus menyalurkan anggaran mereka kepada pelajar mulai dari program PAUD, SMP, SMA, SMK, hingga Perguruan Tinggi (PT). Setiap satuan pendidikan ini mendapatkan jatah dari anggaran yang hanya sebesar 98 triliun.
Padahal, satu satuan pendidikan saja, misalnya Sekolah Dasar (SD), sudah memiliki 149 ribu; angka yang jauh melebihi seluruh pelajar sekolah kedinasan yang hanya 13 ribu. Tidak heran apabila kesan privilege dan eksklusif melekat pada sekolah kedinasan.
Dampak sosial ketimpangan alokasi anggaran pendidikan tersebut adalah meningkatnya pendaftar sekolah kedinasan dan menurunnya minat terhadap perguruan tinggi. Sejak tahun 2021, minat masyarakat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sudah terindikasi merosot.
Data dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) pun mengafirmasinya, bahwa untuk periode 2022-2025, banyak perguruan tinggi, khususnya swasta, menghadapi penurunan signifikan jumlah calon mahasiswa. Bahkan, salah satu perguruan tinggi mengalami penurunan hingga 27%. Perguruan tinggi pun terancam gulung tikar.
BACA JUGA:Danantara: Lokomotif Ekonomi Menuju Indonesia Emas
Rendahnya anggaran untuk Kemenristekdikti dan Kemenag juga menyebabkan besarnya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Banyak mahasiswa yang mengeluh karena UKT dianggap terlalu mahal. Sedangkan, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Chistie menilai sistem UKT saat ini sudah menjadi salah satu sistem yang terbaik.
Penilaian Wamendiktisaintek itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Di satu sisi, UKT yang mahal adalah pilihan terbaik dalam konteks alokasi anggaran pendidikan yang kecil dibandingkan sekolah kedinasan. Namun, di sisi lain, bukan berarti tidak bisa diturunkan agar lebih terjangkau. Salah satunya adalah dengan mengatasi akar penyebabnya.
Faktor UKT menjadi mahal karena alokasi anggaran untuk Kemenristekdikti sangat kecil. Sedangkan kebutuhan pendidikan sangat besar. Artinya, ketika politik kebijakan suatu hari nanti lebih berpihak kepada Kemenristekdikti dari pada sekolah kedinasan, maka UKT otomatis bisa ditekan menjadi lebih rendah dan terjangkau.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
