bannerdiswayaward

Kesehatan Gigi Masyarakat Indonesia: Antara Kebutuhan dan Ketersediaan Dokter Gigi

Kesehatan Gigi Masyarakat Indonesia: Antara Kebutuhan dan Ketersediaan Dokter Gigi

Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya sedang malakukan praktik. -Dokumentasi FK UB-

Sementara, diperlukan waktu minimal lima tahun untuk menyelesaikan pendidikan dokter gigi. Dengan catatan, lulusan dokter gigi yang dihasilkan harus memenuhi kualitas dan siap melayani secara profesional menjadi parameter penting, bukan hanya memenuhi kuantitas.

Lulusan dokter gigi yang berkualitas ditentukan oleh banyak parameter. Mulai dari kurikulum yang menjamin ketercapaian kompetensi, sumber daya yang mendukung pemenuhan pembelajaran hard skill dan soft skill yang paripurna, hingga ketersediaan tenaga pendidik/dosen dari 9 cabang ilmu kedokteran gigi spesialis dan 10 cabang ilmu kedokteran dasar-kedokteran gigi non spesialis dengan kualifikasi pendidikan dosen sub-spesialis atau Doktor. Tidak kalah pentingnya,  juga harus didukung dengan ketersediaan Rumah Sakit Gigi dan Mulut/Rumah Sakit Pendidikan yang menyediakan kebutuhan pemenuhan requirement utama pendidikan profesi dokter gigi. 

Semua parameter ini tidak bisa ditawar dan temaktup pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan PermenDiktiSaintek Nomor 39 Tahun 2025 Tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. 

Berikutnya muncul pertanyaan mendasar dari parameter diatas adalah apakah 45 institusi pendidikan dokter gigi telah memenuhinya? Bagaimana regulasi pemerintah untuk mendukung dan menjamin pemenuhan parameter tersebut? Dan apakah sebaran institusi pendidikan dokter gigi telah mengedepankan kebermanfaatan dan pemerataan bagi seluruh wilayah Indonesia?

Rencana Strategis dan Prioritas Pemecahan Masalah

Kembali ke urgensi nasional terkait kesehatan gigi masyarakat yaitu tingginya angka kesakitan gigi dan keberadaan dokter gigi. Perlu rencana strategis dan prioritas pemecahan masalah yang tepat dan sinergis. 

Fakta yang dihadapi adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang belum terlayani dokter gigi karena keberdaan yang masih kurang. Di sisi lain, ada  kenyataan bahwa mencetak dokter gigi berkualitas perlu waktu dan investasi yang serius. 

Langkah solutif yang bisa ditempuh dalam waktu relatif pendek adalah pendistribusian lulusan dokter gigi ke wilayah “darurat” dokter gigi. Bisa dilakukan, antara lain dengan mengoptimalkan beasiswa afirmasi Kementerian Kesehatan bagi mahasiswa kedokteran gigi sebagai salah satu upaya jitu menempatkan lulusan ke daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan. 

Selanjutnya pemberian insentif bagi dokter gigi yang bersedia bertugas di daerah non perkotaan dapat diterapkan. Ini diperlukan sebagai stimulus mengingat diperlukan investasi pribadi yang besar saat menempuh pendidikan profesi dokter gigi.

Lalu, pemenuhan sarana prasarana pelayanan kesehatan gigi dasar di semua Puskesmas. Ini menjadi hal mendesak karena data karies yang tinggi, maknanya diperlukan tindakan keprofesian yang menbutuhkan peralatan dan bahan untuk menanganinya. Mulai dari level pencegahan sampai dengan rehabilitasi fungsi gigi dan mulut. 

Ketika pola sebaran dokter gigi tertata dengan baik, maka peran dokter gigi dapat dimonitor dan dievaluasi melalui platform Satu Sehat (yang seharusnya) terintergrasi dengan sistem yang dibangun oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Pengawasan ini adalah terkait peran dokter gigi dalam melayani masyarakat dari aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 

Berikutnya mekanisme “reward” dapat diberikan atas prestasi kerja dokter gigi ketika integrasi sistem ini telah berjalan untuk meningkatkan motivasi.

Upaya Fakultas Kedokteran Gigi UB

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Brawijaya (FKG UB) turut berperan dalam mewujudkan Indonesia Bebas Karies Tahun 2030. Kurikulum pendidikan profesi telah dirancang untuk melatih kepekaan mahasiswa terhadap kondisi kesehatan gigi masyarakat, sekaligus menjadi agen perubahan dan solusi atas masalah yang ditemukan. Yang terakhir ini dibangun melalui kegiatan praktik kerja lapangan di Puskesmas selama lima minggu, termasuk inovasi membuat alat/media promosi kesehatan.  

Setiap tahun rata-rata 20 kegiatan pengabdian masyarakat terkait kesehatan gigi dilakukan oleh sivitas akademika FKG UB. Kegiatan pengabdian ini, dilakukan di dalam maupun di luar wilayah Malang Raya meliputi kegiatan promotif, preventif dan kuratif dan rehabilitatif dengan sasaran semua kelompok usia.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads