bannerdiswayaward

Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital

Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D - Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Keindonesiaan kita sudah dirumuskan dengan penuh holistik dan universal, dan tugas kita hari ini adalah mengaktifkan kembali nilai-nila universal dan mendalam Pancasila itu da--

JAKARTA, DISWAY.ID-- Hari ini, 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day). Tahun ini temanya menurut WHO adalah “Mental Health is a Universal Human Right”. 

Tema yang tampak sederhana, tapi sangat relevan bagi masyarakat digital yang makin bising, cepat, dan lelah.

Dalam laporan World Mental Health Report 2023, WHO mencatat peningkatan kasus gangguan kecemasan dan depresi global hingga 25 persen dalam dua tahun terakhir. 

Ironisnya, kenaikan itu justru terjadi di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan kemudahan hidup. Kita hidup dalam dunia yang semakin terkoneksi. Tetapi, kata filsuf Jerman Byung-Chul Han, juga “semakin sepi.”

Fenomena ini melanda semua lapisan: mahasiswa yang tenggelam dalam perbandingan sosial di media, pekerja muda yang kehilangan gairah karena “burnout produktivitas”, bahkan pejabat publik yang terjebak dalam tekanan citra. 

Maka, isu kesehatan mental kini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga soal sosial dan kebijakan publik bahkan, soal moralitas peradaban.

Sebagai Rektor di Universitas Islam Negeri, saya sering merenung: bagaimana kampus tempat orang belajar dan berjuang bisa menjadi ruang pemulihan jiwa di tengah hiruk-pikuk algoritma digital? Bagaimana ilmu dan iman bisa kembali bersenyawa sebagai terapi kebangsaan?

Kelelahan Sosial dan Krisis Makna

Lebih dari seabad lalu, sosiolog Émile Durkheim dalam karya klasiknya Suicide (1897) menulis tentang anomie, keadaan di mana individu kehilangan arah moral karena perubahan sosial yang cepat. 

Manusia modern, katanya, “mati bukan karena kelaparan fisik, tapi karena kelaparan makna.” 

Kini, gejala anomie itu menjelma dalam bentuk baru: digital fatigue.

Kita terus terhubung, tapi jarang benar-benar berjumpa. Kita tersenyum dalam emoji, tapi menangis di kamar yang sunyi. Kita menatap layar, bukan wajah. 

Kita menilai diri dari likes, bukan dari laku. Psikolog sosial Sherry Turkle dari MIT menyebut fenomena ini sebagai “the flight from conversation”  pelarian dari percakapan nyata menuju simulasi kehadiran. 

Manusia kehilangan “ruang hening” untuk merenung, sementara media sosial terus menuntut tampil, berpendapat, dan menilai.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Berita Terkait

Close Ads