Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital
Prof. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D - Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Keindonesiaan kita sudah dirumuskan dengan penuh holistik dan universal, dan tugas kita hari ini adalah mengaktifkan kembali nilai-nila universal dan mendalam Pancasila itu da--
Dalam tradisi Islam, kegelisahan seperti ini disebut ghaflah — kelalaian hati dari kesadaran akan hakikat diri dan Tuhan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut ghaflah sebagai “penyakit ruhani yang membuat manusia sibuk dengan yang banyak, tapi jauh dari yang hakiki.”
Modernitas menjanjikan kemudahan, tapi sekaligus menghadirkan ketercerabutan: manusia terlepas dari makna, dari komunitas, bahkan dari dirinya sendiri.
Kita hidup di zaman di mana “segala sesuatu diukur, tetapi sedikit yang dipahami.” Di sinilah saya melihat krisis kesehatan mental sesungguhnya adalah krisis spiritualitas sosial. Kelelahan batin bukan hanya akibat beban kerja, melainkan akibat kehilangan arah hidup.
Spiritualitas sebagai Terapi Sosial
Sains modern telah mulai mengakui dimensi spiritual sebagai komponen kesejahteraan. Dalam Lancet Psychiatry (2022), para peneliti menunjukkan bahwa kehadiran makna hidup dan keimanan yang sehat berkorelasi positif dengan pemulihan depresi dan kecemasan.
Bahkan, studi di Harvard (Human Flourishing Program, 2021) menemukan bahwa partisipasi dalam kegiatan keagamaan dan sosial memperpanjang umur serta menurunkan risiko bunuh diri.
Namun spiritualitas yang dimaksud bukan ritual semata. Spiritualitas sosial adalah kesadaran bahwa manusia saling terhubung oleh nilai-nilai yang lebih tinggi dari kepentingan pribadi.
Ia memulihkan hubungan yang rusak: antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama, serta manusia dengan alam.
Dalam khazanah Islam, konsep ini dikenal dengan tazkiyatun nafs — pembersihan jiwa dari penyakit batin seperti iri, cemas, marah, dan serakah.
Bagi Al-Ghazali, kesehatan batin adalah syarat kesehatan sosial. Jiwa yang bersih menumbuhkan masyarakat yang adil dan damai.
Dalam tradisi tasawuf sosial, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature, manusia modern perlu “menemukan kembali kesucian dalam keseharian.”
Artinya, teknologi dan kemajuan tidak perlu ditolak, tetapi harus disertai kesadaran moral: setiap inovasi harus memuliakan kehidupan, bukan mempercepat kelelahan manusia.
Spiritualitas sosial tidak mengasingkan diri dari dunia, tetapi menghadirkan jiwa dalam dunia. Ia memulihkan sense of belonging perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih luas dari ego.
Kampus, Negara, dan Ruang Sunyi
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
