Janji Etanol 2028 dan Korosi
Ilustrasi kondisi SPBU swasta vs Pertamina di tengah rencana kebijakan impor satu pintu dan penggunakan etanol.-Disway-
Di sisi lain transisi energi, Kementerian ESDM berencana melaksanakan uji coba E10 yang dicampurkan ke dalam bensin, dengan fokus pada adaptasi iklim Indonesia.
Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa karakteristik Indonesia sebagai negara tropis dengan kelembapan tinggi, memberikan tantangan serius bagi etanol yang mudah menyerap air.
"Kita perlu memahami betul bagaimana perilaku E10 di lingkungan yang lembap. Apakah akan terjadi pemisahan fasa (antara bensin, etanol, dan air), atau bagaimana dampaknya terhadap tangki penyimpanan dan mesin kendaraan dalam jangka panjang," papar Eniya.
Menurut Eniya, data dari negara subtropis tidak dapat serta-merta diaplikasikan di Indonesia, sehingga uji coba spesifik lokal adalah keharusan. Implementasi E10 pun direncanakan dalam 2-3 tahun ke depan, sekitar 2028.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memperkirakan implementasi E10 berpotensi mengurangi konsumsi BBM sebesar 4,2 juta kiloliter (kl).
Dirjen EBTKE memperkirakan kebutuhan etanol untuk E10 (non-PSO) mencapai 1,2 juta kl, yang bahan bakunya akan dioptimalkan dari molases tebu.
Ongkos Infrastruktur dan Keterlibatan Rakyat
Kekhawatiran terhadap cost infrastruktur E10 bagi pelaku usaha kecil tetap tinggi. Pengamat kebijakan energi, Faisal Rahman, menyebut penutupan gerai Vivo sebagai akibat dari kebijakan kejut (shock policy).
"Tujuannya baik, untuk transisi energi hijau. Tapi implementasinya tidak mempertimbangkan kesiapan dan kemampuan finansial semua pelaku usaha. Tanpa insentif atau masa transisi yang memadai, pemain yang lebih kecil pasti akan menjadi korban pertama," kata Faisal saat dihubungi Disway.id pada Rabu 15 Oktober 2025.
Waktu tiga tahun (hingga 2028) terasa sangat pendek untuk sebuah transformasi infrastruktur skala nasional.
Pengamat otomotif Fitra Eri menyebut, untuk riset aditif anti-korosif saja, SPBU swasta yang serius butuh 4-5 tahun.
"Mesin-mesin modern, keluaran 2001 ke atas, umumnya sudah tahan etanol. Tapi mobil-mobil lama, belum tentu. Harus ada aditif yang dirancang khusus. Dan itu, butuh waktu bertahun-tahun untuk riset," katanya kepada Disway.id.
Di sisi lain, kekhawatiran turut disampaikan pegawai SPBU Shell Pondok Cabe, Fernando, yang menilai campuran etanol justru bisa membuat mesin kendaraan lokal cepat berkarat dan tidak awet. “Kalau di Indonesia nggak cocok, mesinnya jadi berkarat. Di luar negeri mungkin iya, tapi di sini beda,” ujarnya.
Perbedaan suhu dan kelembapan membuat campuran etanol sulit diadaptasi di iklim tropis. Pegawai VIVO Sawangan, Ubay, meyakini bahwa setiap SPBU memiliki “racikan” tersendiri dalam menjaga kualitas bahan bakar.
“Kalau etanol dimasukin, bisa ngereset racikan bensin kami. Jadi nggak cocok buat VIVO,” jelasnya.
Hingga kini, uji coba BBM beretanol dengan RON 90 hingga 95 masih berlangsung, sementara publik menanti hasil finalnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: