Janji Etanol 2028 dan Korosi
Ilustrasi kondisi SPBU swasta vs Pertamina di tengah rencana kebijakan impor satu pintu dan penggunakan etanol.-Disway-
Transisi energi itu seperti janji pernikahan. Indah diucapkan, berat dijalankan. Banyak sudah yang teriak-teriak soal bioetanol, soal E10. Tapi, coba tengok ke bawah. Ke perut bumi! Tangki dan pipa penyalur harus tahan korosi dan modal tebal. Janji 2028 itu hanya 3 tahun lagi. Apakah uang, besi, dan teknologi sudah siap?
-----------
SENYAPNYA SPBU Vivo yang terkunci rantai pasca kebijakan E10 menjadi simbol nyata dari gap antara kebijakan tingkat tinggi dan kesiapan di lapangan. Namun, ancaman yang lebih besar sedang membayangi sektor hilir: wacana impor BBM satu pintu.
Kebijakan ini, yang mewajibkan seluruh SPBU asing membeli BBM hanya dari Pertamina, dinilai berpotensi mengembalikan tata kelola sektor hilir dari sistem liberalisasi ke sistem yang terpusat dan terkontrol.
Jika ini terjadi, cengkeraman Pertamina akan mengeras, mematikan kompetisi, dan bahkan bisa menggagalkan janji pertumbuhan ekonomi.
Blunder Strategis Impor Satu Pintu
Wacana impor BBM satu pintu oleh Kementerian ESDM menuai kritik tajam karena dinilai berpotensi menjadi langkah mundur. Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fahmy Radhi, menyebut kebijakan ini sebagai blunder strategis.
"SPBU asing awalnya mau masuk ke Indonesia karena diberikan kebebasan dalam hal pendirian, pengadaan BBM, dan penetapan harga. Dengan sistem satu pintu, semua kebebasan itu hilang," jelas Fahmy saat dihubungi Disway.id pada Senin, 20 Oktober 2025.
Kekuatan utama SPBU asing adalah kemampuan pengadaan BBM yang efisien, termasuk impor dari negara dengan harga lebih murah.
Dengan kebijakan satu pintu, mereka dipaksa membeli dari Pertamina dengan harga yang ditetapkan Pertamina, sehingga margin tergerus.
"Bila terus dipaksakan, SPBU asing bisa merugi, dan bukan tidak mungkin satu per satu akan menutup usahanya di Indonesia," ujar Fahmy.
Menurut Fahmy, hengkangnya SPBU asing akan menciptakan monopoli Pertamina, yang tidak hanya mengganggu iklim usaha, tetapi juga memberikan sinyal negatif bagi investor asing.
"Monopoli ini bisa menurunkan kepercayaan investor, bukan hanya di sektor migas, tapi juga di sektor-sektor strategis lainnya," tegasnya.
Fahmy menyimpulkan, kebijakan ini bertolak belakang dengan ambisi Presiden Prabowo Subianto yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 8%.
"Kalau pemerintah serius ingin mendorong pertumbuhan ekonomi, seharusnya kebijakan seperti ini dibatalkan. Ini bisa menjadi blunder yang mahal," pungkasnya.
Uji Adaptasi Iklim dan Realisme Etanol
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: