Bolehkah Non-Muhrim Bersalaman? Sebuah Tinjauan Hukum Diperbolehkan dengan Catatan

Bolehkah Non-Muhrim Bersalaman? Sebuah Tinjauan Hukum Diperbolehkan dengan Catatan

Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, Imam Jazuli memberi usulan terkait islah Yahya Cholil Staquf atau yang kerap disapa Gus Yahya dengan Rais 'Aam.--

 لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، جَمَعَ بَيْنَ نِسَاءِ الأَنْصَارِ فِي بَيْتٍ ، ثُمَّ أَرْسَلَ إِلَيْنَا عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، فَقَامَ عَلَى الْبَابِ فَسَلَّمَ عَلَيْنَا ، فَرَدَدْنَ ، أَوْ فَرَدَدْنَا عَلَيْهِ ، ثُمَّ قَالَ : أَنَا رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْكُنَّ. قَالَتْ : فَقُلْنَا: مَرْحَبًا بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِرَسُولِ رَسُولِ اللَّهِ ، فَقَالَ : تُبَايِعْنَ عَلَى أَنْ لاَ تُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلاَ تَسْرِقْنَ، وَلاَ تَزْنِينَ، قَالَتْ: قُلْنَا نَعَمْ؛ قَالَ: فَمَدَّ يَدَهُ مِنْ خَارِجِ الْبَابِ أَوِ الْبَيْتِ، وَمَدَدْنَا أَيْدِيَنَا مِنْ دَاخِلِ الْبَيْتِ

Artinya, “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengumpulkan para wanita Anshar di sebuah rumah. Kemudian beliau mengutus Umar bin Khattab kepada kami (masyarakat). Umar berdiri di depan pintu, mengucapkan salam kepada kami, dan kami menjawab salamnya. Lalu ia berkata, ‘Aku adalah utusan Rasulullah kepada kalian.’ Kami berkata, ‘Selamat datang Rasulullah dan utusan Rasulullah.’

Kemudian Umar berkata, ‘Apakah kalian bersedia berbaiat untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, tidak mencuri, dan tidak berzina?’ Kami menjawab, ‘Ya.’ Lalu Umar mengulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah, dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah (untuk berbaiat).” (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, [T.Tp, Dar Hijr, t.t.], jilid XXII, hlm. 601)

BACA JUGA:Menghormati Kiai dan Asatid: Warisan Akhlak dan Etika dari Rasulullah

BACA JUGA:Memahami Keragaman Tradisi Pesantren

Berdasarkan riwayat tersebut, beberapa alim ulama, termasuk syaikh Ali Jum’ah menyampaikan pandangan yang membolehkan berjabat tangan dengan lawan jenis dalam kondisi tertentu, yaitu jika tidak ada syahwat atau perasaan tertentu yang dapat menimbulkan ketertarikan. Contohnya adalah dalam situasi profesional seperti di tempat kerja, pertemuan formal antara pejabat, atau acara-acara resmi lainnya.

Hadis lain yang mengindikasikan bahwa pernah terjadi persentuhan antara telapak tangan Rasulullah dengan perempuan non muhrim dalam konteks tertentu, misalnya, riwayat berikut ini:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ إِنَّ كَانَتِ الْأَمَةُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَتَأْخُذُ بِيَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا يَنْزِعُ يَدَهُ مِنْ يَدِهَا

Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Sungguh, seorang budak perempuan dari penduduk Madinah pernah memegang tangan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau tidak menarik tangannya dari tangan perempuan itu." (HR. Bukhari). 

Secara tekstual, hadits ini menyebutkan adanya kontak antara tangan Rasulullah dengan tangan wanita tersebut ketika bersalamam. Sementara, ada ulama yang menafsirkan bahwa makna frasa “tidak menarik tangannya dari tangannya" dapat diartikan sebagai Rasulullah membiaekan perempuan tersebut ke mana pun ia pergi, bukan merujuk pada kontak fisik secara langsung.

Pendapat Ulama tentang Bolehnya Bersalaman dengan Non-Muhrim

Berdasarkan riwayat-riwayat tersebut, sebagian ulama berpendapat bahwa bersalaman dengan non-muhrim diperbolehkan dalam Islam, asalkan tidak ada syahwat atau keinginan yang tidak baik. Salah satu ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Muhammad Sayyid Thantawi, mantan Grand Syekh Al-Azhar.

Dalam fatwanya, Syekh Thantawi menyatakan bahwa bersalaman dengan non-muhrim diperbolehkan jika dilakukan dengan cara yang sopan dan tidak ada syahwat. Beliau juga menekankan pentingnya menjaga adab dan etika dalam berinteraksi dengan lawan jenis (Thantawi, 2004).

Selain itu, argumentasi yang digunakan oleh ulama yang memperbolehkan bersalaman dengan non-muhrim, seperti yang pernah disampaikan Syaikh Ali Jum'ah. Pertama, Abu Bakar al-Shiddiq pernah bersalaman dengan perempuan ketika menjadi khilafah. 

Kedua, terkait dalil yang menjelaskan, “Saya tidak bersalaman dengan perempuan…” dipahami khusus untuk Nabi SAW. Ketiga, perempuan kabilah Asy’ari pernah mencari kutu di kepala Abu Musa al-Asy’ari, padahal dia sedang haji, dan mereka bukan mahram.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads