Ramai Penerima Terdeteksi Main Judol, Pengamat Soroti Lemahnya Sistem Penyaluran Bansos
Pengamat menyoroti lemahnya sistem penyaluran bansos karena banyak penerima yang kedapatan aktif bermain judi online-Adinda Salsabila-
JAKARTA, DISWAY.ID - Belum lama ini, masyarakat sukses kembali dikejutkan usai beredar kabar bahwa sejumlah warga penerima bantuan sosial (bansos) ketahuan bermain judi online (judol) menggunakan bantuan yang telah diterima.
Bahkan dilansir dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah penerima bansos yang kedapatan melakukan judol kini jumlahnya sudah sekitar ribuan.
BACA JUGA:MSCI Ubah Aturan Main, Saham IHSG Bisa Tersingkir dari Indeks Global
“Kami akan segera tertibkan. Memang ada data dari PPATK,” jelas Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, kepada awak media di Jakarta, pada Senin 27 Oktober 2025.
Penggunaan bansos untuk judol sendiri sayangnya merupakan kasus yang cukup sering terjadi.
Dilansir dari data PPATK, lebih dari 602.000 warga Jakarta terlibat dalam aktivitas judol, dan sekitar 5.000 di antaranya adalah penerima bansos aktif, dengan jumlah transaksinya mencapai Rp 3,12 triliun.
Dengan angka tersebut, Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai bahwa angka ini bukan sekadar statistik, tapi cermin retaknya sendi moral dan lemahnya desain kebijakan sosial di negeri ini.
BACA JUGA:Perkuat Kepemimpinan di Pasar QRIS Indonesia, ALTO Catat Pertumbuhan 357 Persen
“Ketika bantuan berubah menjadi modal bermain judi, negara tidak hanya kehilangan uang, tapi kehilangan arah moral kebijakannya,” ujar Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Senin 27 Oktober 2025.
Lebih lanjut, Achmad juga menambahkan bahwa fenomena ini menunjukkan bahwa pemberian bansos saat ini masih menggunakan cara pikir di zaman analog, sementara penyalahgunaannya sudah berpindah ke era algoritma.
Dalam hal ini, dirinya menyoroti sistem bansos yang kini masih berorientasi pada cash transfer.
“Padahal, tanpa literasi dan pengawasan, uang publik berubah menjadi uang pribadi tanpa tanggung jawab publik,” tegas Achmad.
“Kita butuh pendekatan yang lebih fundamental, membangun ulang desain kebijakan dari dalam, bukan sekadar menambah pagar dari luar,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber: