Momentum Sumpah Pemuda: Generasi Muda Anti Narkoba
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D (Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)--
Dalam suasana itulah narkoba mudah masuk: sebagai pelarian dari tekanan ekspektasi dan rasa kosong.
Budaya instan menawarkan “kebahagiaan kilat” yang sesungguhnya rapuh.
Filsuf Korea Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2015) menyebut manusia modern sebagai makhluk yang kelelahan secara eksistensial: berlari tanpa arah, produktif tanpa jiwa.
BACA JUGA:Diplomasi Presiden Prabowo
BACA JUGA:Menghormati Ulama: Tradisi Sahabat Nabi, Tabiin, Tabiin-Tabiin dan Salafu Shalih
Mereka kehilangan “waktu hening” untuk mengenali diri sendiri.
Islam mengajarkan konsep tawazun, keseimbangan antara kerja dan ibadah, antara tubuh dan ruh.
Tanpa keseimbangan itu, kebebasan berubah menjadi kekosongan, dan kemajuan berubah menjadi kehancuran.
Hamka dalam Tasawuf Modern (1939) mengingatkan, “Kekayaan jiwa lebih penting daripada kekayaan harta; orang yang kehilangan makna akan mencari racun untuk menipu jiwanya sendiri.”
Dari Hukuman ke Pemulihan
Dalam kebijakan publik, narkoba sering dipandang hanya sebagai masalah kriminal.
BACA JUGA:Menghormati Kiai dan Asatid: Warisan Akhlak dan Etika dari Rasulullah
BACA JUGA:Etika Publik dan Krisis Kepercayaan
Padahal banyak pengguna justru korban lingkungan, keluarga disfungsional, atau trauma psikologis.
Pendekatan hukum yang represif kerap memperburuk keadaan, menghukum tanpa menyembuhkan.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel
Sumber:
