Wakil Kepala Daerah Sebaiknya Dihapus, Boros dan Tak Efisien

Wakil Kepala Daerah Sebaiknya Dihapus, Boros dan Tak Efisien

Wakil Ketua Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas RI Angkatan XLIX (IKAL 49), Dr Widodo Sigit Pudjianto SH MH-dok.IKAL 49-

DI Indonesia, hampir setiap kepala daerah punya wakil. Tapi, siapa yang benar-benar tahu apa tugas wakil kepala daerah itu?

Banyak yang hanya mendampingi di acara seremonial, menandatangani dokumen ringan, lalu menghilang dari sorotan publik.

Inilah jabatan yang paling tidak efisien dalam struktur pemerintahan kita.

BACA JUGA:Menakar Ruang Fiskal Daerah di Tengah Penurunan Transfer dan Peningkatan Beban ASN

Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 hanya menyebut kepala daerah dipilih secara demokratis. Tidak ada perintah soal wakil.

Saya memahami bagaimana struktur birokrasi bisa menjadi beban jika terlalu gemuk.

Jabatan wakil kepala daerah itu hanya turunan undang-undang, bukan mandat konstitusi.

95 Persen Pecah Kongsi

Saya mengutip data Kemendagri tahun 2014. Angkanya mencengangkan: 95 persen kepala daerah dan wakilnya pecah kongsi di tengah jalan.

Kalau berantem, memangnya ada kontribusinya? Nol!

Fenomena “pecah kongsi” itu, bukan sekadar gosip politik. Saya melihat sendiri bagaimana banyak pasangan kepala daerah yang akur saat kampanye, lalu berseteru setelah duduk di kursi kekuasaan.

Wakil kepala daerah sering tidak punya kewenangan jelas. Akhirnya hanya jadi simbol keseimbangan politik.

Uang Terbuang

Bicara soal angka. Sekarang ada 447 wakil kepala daerah: 362 wakil bupati dan 85 wakil wali kota. Kalau satu orang habiskan Rp150 juta per bulan, dikali 447, itu miliaran setiap bulan.

Gaji, tunjangan rumah, kendaraan dinas, ajudan, dan fasilitas lain—semuanya dibayar dari APBD.

Daerah rugi, sementara negara masih butuh dana untuk pengentasan kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Temukan Berita Terkini kami di WhatsApp Channel

Sumber:

Close Ads